Judul: Buku Ajar Koas Racun - Panduan Wajib --bertahan hidup-- untuk Koas dan Mahasiswa Kedokteran
Penulis: Andreas Kurniawan, dr
Penyunting: Agus Wahadyo
Desain cover: Mutia Han
Penata letak: Andipa
Diterbitkan pertama kali oleh Mediakita
Cetakan kedua, 2012
Genre: Komedi, Non-fiksi, Indonesian-Literature, Kedokteran
ISBN: 979-794-365-8
Jumlah halaman: XII + 256 hlm; 13 x 19 cm
Genre: Komedi, Non-fiksi, Indonesian-Literature, Kedokteran
ISBN: 979-794-365-8
Jumlah halaman: XII + 256 hlm; 13 x 19 cm
Hidup di dunia medis membuat kita (koas) memiliki satu kelebihan. Kita bisa menerapkan ilmu medis dalam melancarkan gombalan. Itu akan terlihat SANGAT KEREN.
"Mama kamu dulu ngidam lithium ya? Soalnya kalau deket kamu, mood aku yang biasanya naik turun, sekarang jadi stabil." [SUKSES!]
Tapi, gombalan ala medis kadang memiliki efek samping yang tidak diharapkan.
"Mama kamu dulu ngidam lithium, ya? Soalnya muka kamu kotak kayak batere HP." [GAGAL!]
***
KOAS...! Ini yang membuat mahasiswa Fakultas Kedokteran percaya bahwa neraka itu benar ada. Buku Ajar Koas Racun ini, selain menuturkan pengalaman yang mengundang gelak tawa, juga akan memberi pelajaran baru dalam melewati rintangan-rintangan yang kerap menghadang koas, seperti saat menghadapi konsulen (penguji) ketika ujian.
Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...
Bab pertama buku ini, judulnya Koas dan Jaga Malam. Yang dimulai dengan
Jaga malam, kata yang berpotensi membuat koas merinding dari ujung rambut hingga ujung bulu jempol kaki. Setelah lelah seharian digiling di rumah sakit, seorang koas akan diperas kembali di IGD dari pukul 3 sore hingga pukul 6 pagi keesokan harinya. Jaga malam ini terjadi secara bergiliran dari hari ke hari, tergantung stase yang dijalani. Lain halnya dengan satpam yang kalau habis jaga malam diperbolehkan libur keesokan harinya, seorang koas yang sudah selesai jaga tetap harus menjalani pendidikan seperti biasa keesokan harinya.
Horor banget, ga sih?
Jadi zombie semaleman, terus masih mesti belajar di pagi hari. Nanti sore diperas lagi (emang sapi?) buat jaga di IGD. Bunda pernah sih, ada berjam-jam di UGD. Sewaktu nungguin hasil tes darah adek Zidan, plus Bunda sendiri pas menjelang rawat inap. Kalo pas Bunda yang mau dirawat sih, Bunda ga ngeliat langsung seluruh kesibukan UGD, karena Bunda berbaring, ruangan ditutup. Boro-boro pengen ngeliat sekitar, badan Bunda rasanya ambruk banget :D
Tapi, pas nemenin adek, karena saat itu Bunda dalam keadaan sehat, jadi Bunda menyaksikan banyak hal di UGD. Jadi, pas baca cerita tentang pengalaman para koas di buku ini, yang kebayang sih, kondisi para koas.
Nah, dengan segala kengocolannya lewat buku ini, Bunda jadi yakin bahwa para dokter sebetulnya manusia biasa. (Lah, jadi selama ini Bunda nganggep dokter apa? Dewa? x)))
Di sini diceritain juga tentang koas "pengundang pasien" dan "penolak pasien". Entah gimana, kok, berasa mistis gitu kedengarannya. Hihihi...
Jadi ingat, dulu, Yangkung pengen banget Bunda masuk FK, supaya Bunda bisa jadi dokter yang menolong orang banyak. Bahkan kalo bisa, kelak Bunda jadi dokter kaya yang kalo meriksa orang (terutama orang-orang ga mampu) bisa gratis, termasuk biaya operasi, rumah sakit, dll.
Bunda sekarang ngerti kenapa Yangkung dulu keukeuh pengen Bunda jadi dokter. Sayangnya, Bunda yang ga mau. Pertama, Bunda ga tahan bau-bauan bahan kimia (terutama yang beneran nyegrak kayak formalin atau asam asetat). Sementara buat jadi dokter, harus sering main dengan bahan-bahan kimia serupa, bahkan dengan yang lebih strong.
Kedua, Bunda ga kuat liyat darah segar lama-lama. Pasti pusing. Mungkin karena nggak biasa, kali ya. Tapi ga tau juga, kalo nekat cuma dua kemungkinan: jadi kebal atau malah sakit jiwa. Ketiga, Bunda orangnya ga tegaan. Gampang melow. Kebayang, kan, kalo misalnya mesti nyuntik, terus pasien belum apa-apa udah jerit-jerit ketakutan, Bunda kemungkinan besar ga melakukan tindakan. Haha. Nonton film berdarah-darah aja langsung mual, kok.
Keempat, Bunda ga terlalu suka ngafal, kecuali buat ngegombal. Dengan literatur sebanyak itu, masa iya semuanya bakalan jadi modal ngegombal? Kan nggak... Kasian pasiennya ntar... :D
Masih banyak alasan lain yang memang dasar aja Bunda ga mau jadi dokter :P
Bukan cuma tentang Koas dan Jaga Malam yang diceritain di sini. Ada tentang Koas dan Guru. Guru di sini ga cuma dosen atau yang mereka sebut dengan konsulen, tapi juga kadaver (mayat yang dijadikan bahan pelajaran koas) termasuk pasien-pasien yang mereka hadapi langsung. Ada juga cerita tentang tulisan dokter yang katanya jelek itu, tentang dokter yang katanya nggak bisa sakit itu, koas dan kejombloan, koas dan ujian, plus tentang koas yang nggak lagi nyante kalo nonton film atau baca buku yang bawa-bawa dunia kedokteran. Hihi. Tentu saja, bagian favorit Bunda adalah yang Bunda sebutkan terakhir barusan. Karena sukses bikin ngikik.
Oya. Dari tadi mungkin Kakak atau Adek bingung. Koas itu apa, sih? Kalo menurut tante Dewi, koas itu sebutan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran tingkat klinik. Kisaran tingkat 5-6).
Seru banget baca buku ini, sih. Baca kisah-kisahnya menyegarkan mata dan hati. Bunda nggak nyangka, selain tante A.s Dewi yang seorang dokter ngocol plus kacrut, ternyata banyak dokter lain yang sama kacrut. Menurut tante Dewi, yang lebih kacrut dari beliau banyak. Cuma Bunda aja nggak kenal, gitu katanya.
Sesuai judul review Bunda di atas, buku ini tetep bermanfaat buat kita atau mereka yang nggak pernah icip-icip sekolah di Fakultas Kedokteran. Minimal, kalo inget, kirimin makanan, gitu, ke IGD. Hihihi...
Terlepas dari semua pujian di atas, Bunda menyayangkan tata letak komik meme yang memotong cerita. Mungkin mestinya ditaruh di akhir bab aja kali, ya. Ilustrasinya emang menjelaskan cerita, sih, kadang. Tapi kurang enakeun aja gitu liyatnya.
Bintang empat, layak dong, buat om Andreas dan semua dokter yang ada di Indonesia. Fighting, ya!
Cheers! Love you both,
Mau dong buku saya direview mbak hehe
BalasHapus