Tampilkan postingan dengan label bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan

13 Jun 2023

[2023: Book 11] Membaca Lambang - Acep Zamzam Noor

Judul: Membaca Lambang 
Penulis: Acep Zamzam Noor 
Ilustrasi sampul dan isi: sukutangan
Cetakan pertama, Oktober 2018
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 96 hlm; 20 cm
ISBN: 978- 602-06-1396-3
Genre: Indonesian Literature, Puisi, Poetry
Status: Beli di gramedia dot com pas ada sale gede-gedean
Dibaca: 22 Februari 2023

Di muara kudengar langkah waktu sayup-sayup sampai
Rumpun bakau menjelma ruang yang memantulkan gema
Ketika angin kemarau berkejaran dengan gulungan ombak
Di pantai. Aku tertinggal jauh di luar batas kesementaraan

Sekalipun yang tampak di hadapan tinggal kabut semata
Tentu ada yang masih bisa diteroka. Aku membaca lambang
Merenungi bagaimana langit merendah dan bumi meninggi
Namun bukan sedang mengulurkan benang basah ke udara

Pengembaraan adalah detik-detik yang mengalir dari gunung
Diteruskan sungai ke muara. Sedang penghayatan ibarat pasir
Yang butir-butir halusnya mengembara ke tengah samudra

Pelan-pelan aku menyaksikan senja berubah menjadi panggung
Sebuah resital cahaya mulai dipentaskan cakrawala. Di kejauhan
Gugusan pulau menggelepar-gelepar bagaikan para penari latar
 

Hai, Kakak Ilman dan Kakak Zi...

Ini bukan buku puisi pertama yang aku baca. Tapi ini buku puisi pertama karya Acep Zamzam Noor yang aku baca. Aku kesulitan buat mencernanya. Entah otak aku yang nggak nyampe atau memang tidak terbiasa dengan pemilihan kata-katanya. 

Menurutku, gaya puisi Acep Zamzam Noor ini kayak tumpah gitu. Kata-katanya memburu, tipikal yang kalo dibaca dalam satu kali nafas, ngos-ngosan kitanya. Bisa jadi karena gaya menulisnya seperti itu, aku jadi kayak tersesat. Boleh jadi, cara bacaku yang salah. Karena... 

Ketika aku baca ulang dengan pelan-pelan, aku udah nggak ngos-ngosan lagi. Pelan-pelan bisa menikmati setiap barisnya. Rasanya seperti berkeliling Indonesia, karena setiap judul mewakili tempat yang berbeda di Indonesia.


Adakah puisi favoritku di buku ini? Kayaknya nggak ada selain puisi yang berjudul Membaca Lambang, seperti yang dimunculkan di bagian blurb. Tapi itu juga bukan puisi favorit, sih. Setidaknya itu puisi paling netral yang ada di buku ini. Buatku, mayoritas puisi di buku ini mencerminkan kesedihan, kedukaan, dan sejenisnya. Karena emosiku mudah terpengaruh, jadinya sulit untuk bisa datar menyikapi setiap pesan yang ada di puisi ini. Dan aku nggak suka puisi yang mencerminkan luka. 

Bukan tempatku untuk bilang puisi-puisi di buku ini bagus atau nggak, karena semua masalah selera. Hanya saja, selain pilihan kata-kata yang memburu dan cerminan kesedihan yang bertebaran di hampir semua puisi di buku ini bikin aku jadi over thinking untuk banyak hal, aku suka pemilihan tema yang menggunakan tempat-tempat di Indonesia yang aku bahkan banyak belum dengar. Misalnya saja Sungai Walennae, Celukanbawang, dan masih banyak lagi. 


Walau aku bukan penikmat puisi, sesekali aku menyukai baca puisi. Aku jadi inget masa-masa sekolahku dulu. Jadi, waktu aku SD dan SMP tuh, ada teman sekelasku yang ekspresif banget kalo mendeklamasikan puisi. Pasti menghentak-hentak. Bahkan temen SMP tuh sering ikut lomba deklamasi puisi dan kalo ada pelajaran tentang puisi, dia pasti disuruh mendemokan deklamasi puisinya. Jadi, yang keinget di kepalaku adalah: baca puisi itu harus selalu lantang dan teriak-teriak. Yah, dimaklum aja, aku ga punya referensi lain soal mendeklamasikan puisi, mengingat orang tuaku miskin literasi soal puisi. They do not like poet.

Kayaknya itu sih yang bikin aku kurang menyukai puisi, karena di kepalaku, baca puisi itu harus menghentak-hentak. Gandeng tau! Hahahah...


Tapi belakangan aku jadi suka puisi gara-gara temanku yang ngefans banget sama Benedict Cumberbatch ngepost saat dia baca puisi. Tenaaaaang banget. Dan dia jugalah yang bikin aku mulai cari-cari puisi dan mulai baca puisi. Salah satunya di sini:


Gimana menurut kalian? Waktu aku rekam itu, aku belum ngerti caranya mixing puisi pake lagu. Tapi jadinya konsentrasinya hanya ke puisi, kan? 




Aku baca buku ini untuk ikut tantangan:
- Gooodreads Reading Challenge 2023
- Babat Timbunan 2023 Joglosemar
- Tantangan Membaca BBBBC 2023


Stay healthy, love you both always... xoxo
    
Terusin baca - [2023: Book 11] Membaca Lambang - Acep Zamzam Noor

12 Jun 2023

[2023: Book 10] Bijak Ala Dalai Lama Berani Ala Nelson Mandela - Dion Yulianto

 

Judul: Bijak Ala Dalai Lama Berani Ala Nelson Mandela
Penulis: Dion Yulianto
Editor: Ayuniverse
Tata sampul: Ferdika
Tata Isi: Vitrya
Pracetak: Wardi
Cetakan pertama, 2021
Diterbitkan oleh Penerbit Laksana
Jumlah halaman: 156 hlm; 14x20 cm
ISBN: 978- 623-327-106-6
Genre: Non Fiction, Self Improvement, Indonesian Literature
Status: Beli lewat penulisnya 
Dibaca: 13 Februari 2023 - 20 Februari 2023


Dalai Lama adalah seorang biksu rendah hati pejuang kemerdekaan Tibet lewat jalur damai. Posisinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi secara spiritual maupun politis hingga 2010 tidak menjadikannya tinggi hati.

Sedangkan Nelson Mandela adalah pejuang pembebasan dari Afrika Selatan. Selama lebih dari 40 tahun, ia berjuang tidak kenal lelah untuk menghapus sistem apartheid yang mendiskriminasi warga kulit hitam.

Lewat buku ini, Anda dapat menapaktilasi perjuangan dua tokoh besar tersebut. Dari Dalai Lama, Anda bisa belajar tentang kebijaksanaan hidup. Sedangkan dari Nelson Mandela, Anda akan termotivasi oleh keberaniannya yang tak terpatahkan.

Selamat membaca! Jadilah bijak dan berani seperti mereka.


Hai, Kakak Ilman dan Kakak Zi...
Ketemu lagi di tulisan aku yang ke-11 di blog ini. Ini buku non fiksi ke-3 yang aku baca tahun ini. Buku ini tulisannya om Dion. Aku belinya udah lama, deh, kayaknya pas bukunya baru rilis. Tentu aku beli lewat om Dion. Tapi aku lupa minta tanda tangan om Dion. hahaha. Aduh!

Kalo kalian bertanya-tanya, kenapa aku nggak minta buntelan aja ke om Dion, secara om Dion temen aku... well, this is my answer: aku nggak suka minta buntelan. Aku nerima buntelan hanya kalo penulisnya memang mau ngasih. Tapi kalo dia jual, ya aku beli. Supporting friends is just like that. 


Oke, sekarang kita bahas bukunya, ya...

Seperti yang dibahas di sinopsisnya, buku ini mengungkapkan bagaimana bijaknya seorang Dalai Lama dan beraninya seorang Nelson Mandela. 

Di buku ini ditulis bahwa Dalai Lama itu orangnya sangat sabar. Sebagai penganut Budha yang memang kesabaran dan ketenangan adalah inti ajarannya, Dalai Lama menjunjung tinggi ketenangan terutama dalam menghadapi masalah. Dibahas juga tentang bagaimana cara Dalai Lama menyelesaikan masalah kenegaraan yang pelik. Gimana dia harus menyingkir dulu sambil menyusun strategi tanpa menimbulkan peperangan. Karena di setiap peperangan yang terjadi selalu ada korban. Dan adanya korban itu bukan hal yang menyenangkan yang harus dilalui. Kalo bisa lewat cara damai, kenapa tidak?


Begitu juga dengan kisah Nelson Mandela yang berjuang melawan Apartheid (sistem pemisahan ras yang ditetapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan yang dimulai di sektitar awal abad ke-20 sampai tahun 1990). Berkali-kali Nelson Mandela dijebloskan ke penjara karena usahanya untuk melawan sistem yang membedakan ras kulit hitam dan kulit putih. Baginya, manusia semua sama, terserah warna kulitnya apa, bentuk hidungnya apa, punya hak yang sama. Jadi, seorang manusia berkulit putih nggak berarti lebih istimewa dibanding manusia berkulit hitam. Tuhan menciptakan kita beragam tapi dengan tujuan yang sama. Jadi ide pemisahan ras dengan mengistimewakan orang kulit putih di Afrika Selatan yang jelas-jelas bukan tuan rumah itu ya penghinaan banget bagi bangsa Afrika Selatan. Dan karena Nelson Mandela adalah orang yang menempuh pendidikan tinggi, itulah yang dia perjuangkan bagi bangsanya. Aku rasa, bangsa Afrika Selatan sekarang bersyukur karena sistem Apartheid sudah dihapuskan, salah satunya berkat keberanian Nelson Mandela dalam memperjuangkannya, walau nyawa taruhannya. 


Udah jelas lah ya, om Dion ngajak pembacanya untuk sama-sama jadi orang yang bijak dan cinta damai kayak Dalai Lama, sekaligus jadi pemberani kayak Nelson Mandela, belajar lewat kisah hidup mereka. Di buku ini, referensi penulis untuk Dalai Lama cukup banyak, terlihat dari daftar pustakanya memuat beberapa buku tentang Dalai Lama, begitu juga di footnote. Sayangnya, referensi tentang Nelson Mandela justru tidak diambil dari buku tertentu, melainkan dari internet atau koran. Aku ga paham juga apakah referensi biografi tentang Nelson Mandela yang memang sedikit atau nggak ada, tapi untuk menulis buku, sebaiknya referensi biografi seseorang diambil dari buku tentang biografi orang tersebut kali ya.  

Dan satu lagi, aku melihat karena kurangnya referensi inilah, pengulangan kalimat banyak terjadi di sekian bab. Misalnya sudah diceritakan di bab 1, diceritakan lagi di bab 2, ketemu lagi di bab 3, dan seterusnya. Kalo dapat editor kejam, lima bab bisa dipangkas jadi dua bab aja karena pengulangan materi yang terus menerus, meski kalimatnya berbeda. Aku nggak tahu apakah pengulangan simultan ini bertujuan untuk mengingatkan beraninya Nelson Mandela atau memang karena ada target minimal halaman. 

Bukan berarti di bagian Dalai Lama nggak ada pengulangan, hanya saja, pengulangan di bagian Nelson Mandela ini terlalu intens buatku. Jadi rasanya aku ga selesai-selesai baca bukunya. Sayang aja, sih, karena idenya bagus banget. Cuma eksekusinya agak-agak kendor kalo menurutku, karena bagian referensi masih kurang banyak. Tentu saja aku sangat tahu kalo penulis adalah pelahap buku. Tapi ini semua nggak membuat kenikmatan baca berkurang atau hilang sama sekali. Hanya saja kalo kamu terganggu dengan pengulangan yang terlalu intens, hal ini akan terasa betul.

Mudah-mudahan ke depannya, kalo bikin buku tentang tokoh besar seperti kedua orang ini, penulis bisa memperkaya referensi melalui buku biografi yang reliable. Aku nggak bilang artikel koran nggak reliable, lho, hanya saja rasanya kurang "dalem" jadinya informasinya. Sayang sekali.


Aku menyelesaikan baca buku ini untuk memenuhi tantangan:
- Goodreads Challenge 2023
- Tantangan Membaca Satu Bulan Satu NonFiksi MissFioree 2023
- Joglosemar Babat Timbunan 2023
- BBBBC Reading Challenge 2023

Stay healthy, both of you! xoxo
Terusin baca - [2023: Book 10] Bijak Ala Dalai Lama Berani Ala Nelson Mandela - Dion Yulianto

12 Jan 2016

ibuk, oleh Iwan Setyawan





Judul: ibuk,
Penulis: Iwan Setyawan
Editor: Mirna Yulistianti
Proof Reader: Dwi Ayu Ningrum
Ilustrasi dan desain sampul: Itjuk Rahay
Setter: Ayu Lestari
Cetakan pertama, Juni 2012
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 293 hal + xi
ISBN: 978-979-22-8568-0
Genre: Novel, Fiksi, Indonesian Literature, Family, True Story, Drama, Inspirational
Status: Punya. Beli seken di tante Selebvi keknya



"Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat."
-Ibuk-

Masih belia usia Tinah saat itu. Suatu pagi di Pasar Batu telah mengubah hidupnya. Sim, seorang kenek angkot, seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata. Keduanya menikah, mereka pun menjadi Ibuk dan Bapak.

Lima anak terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh perjuangan. Angkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor di kala hujan, biaya pendidikan anak-anak yang besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan dihadapi Ibuk dengan tabah. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin indah.

ibuk, novel karya penulis national best seller Iwan Setyawan, berkisah tentang sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan sederhana yang perkasa. Tentang sosok perempuan bening dan hijau seperti pepohonan yang menutupi kegersangan, yang memberi napas bagi kehidupan. 



Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...

Sakit itu bikin segala nggak enak, ya. Males ngapa-ngapain. Haha. Sakit selama dua minggu sebelum tahun baru trus balik lagi kena flu berat itu sungguh mengganggu!

Untungnya, bacanya nggak kena males. Walau kecepatan baca masih seperti siput, sakit kepala dan running nose nggak menghalangi buat balik halaman berikutnya. Dan masih aja nekat duet nyanyi di Smule, dong! Hahahahaha. Kedengeran banget lah, melernya :P

Oke. Sekarang kita ngomongin buku ini. Beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2013 waktu pertama kalinya Bunda ikutan Secret Santa, Bunda beli buku ini untuk hadiah target Bunda. Saat itu sih nggak tertarik buat beli untuk diri sendiri.

Beberapa waktu kemudian, waktu lihat banyak yang mereview buku ini, akhirnya jadi pengen baca juga. Tapi masih belum tergerak buat beli sampai tante Selvi jual buku ini bareng buku Pintu Harmonika dan beberapa buku lainnya. ibuk, ini jadi salah satu pilihan Bunda kemudian. Berhasil menarik perhatian papa, jadi dia yang baca duluan. Hihihi.

ibuk, bercerita tentang seorang Tinah muda yang harus putus sekolah di masa muda, lalu ikut mbahnya, Mbok Pah, berjualan pakaian bekas. Banyak yang menyukai Tinah, karena kesederhanaannya, kecantikannya juga. Di sebelah kios Mbok Pah, ada kios yang berjualan tempe. Pemuda penjual tempe itu kerap memberikan tempe pada Tinah, sebagai wujud rasa sukanya kepada Tinah.

Dari banyak pemuda yang tertarik pada Tinah, hanya Sim-lah yang membuat jantung Tinah berdegup. Sim adalah seorang kenek playboy yang menjaga penampilan. Walau seadanya, dia nggak berpenampilan lusuh seperti umumnya kenek. Justru dia tampil klimis dan rapi. Singkat cerita, Tinah dan Sim saling jatuh cinta, lalu menikah.

Apakah cinta sesederhana itu?

Cerita ibuk, ini menggambarkan bahwa "happily ever after the end" itu nggak seindah cuma senang-senang tanpa keluh kesah, rasa susah, dan lain-lain. Penceritaan ibuk, diambil dari sisi Bayek, anak Ibuk nomer tiga. Satu-satunya lelaki.

Suatu ketika, Bayek pernah "mati suri". Nggak sakit, tertidur lama, tapi nggak bernapas. Namun detak jantung ada. Hal ini membuat Ibuk sangat cemas. Bayek juga pernah "diramalkan" akan menjadi orang yang membahagiakan Ibuk. 

Ibuk adalah sosok seorang perempuan hebat yang perkasa, jauh dari manja. Ibuk mampu mengurus suami dan kelima anaknya dengan tangannya sendiri.

Awal baca buku ini sebenernya emosinya datar, tapi lumayan bisa dinikmati. Ibarat baca diary orang. Namun, ketika membaca penuturan perjuangan Ibuk, di saat Bapak mengeluh angkot bolak balik mogok, anak-anak rewel karena sudah waktunya bayar SPP, rapor Bayek harus tertahan tidak dibagikan disebabkan belum bayar SPP dan kalender (nggak abis pikir, kenapa diwajibkan beli kalender, ya?), sepatu semua anak jebol berbarengan, Ibuk harus ngutang dan cicil sana sini juga mengatur keuangan seadanya dan memutar otak supaya semua bisa kebagian, nggak kerasa air mata Bunda mengalir.

Ibuk berjuang membesarkan hati Bapak juga kelima anaknya. Ibuk mengajarkan kesederhanaan pada anak-anaknya. Ibuk juga mengajarkan anak-anaknya untuk punya pijakan yang kuat. Ibuk menumbuhkan kasih sayang di hati anak-anaknya. Ibuk yang punya tekad kuat supaya semua anaknya menyelesaikan sekolah, apapun yang menjadi rintangannya.

Ingatan Bunda kembali ke masa Bunda masih SD. Waktu itu, YangKung lagi belum ada kerjaan, karena banyak proyek yang sebetulnya sudah kelar, tapi pembayaran masih tersendat. Jadi, mau ngerjain pekerjaan berikutnya belum ada modal, disebabkan dari hasil pekerjaan sebelumnya belum
dapat bayaran. YangKung dulu berprofesi sebagai arsitek dan pembuat maket (miniatur gedung). Dibayarnya per proyek selesai. Jangankan untuk beli bahan-bahan maket, untuk makan sehari-hari aja udah abis bis bis.

Hari itu, Bunda pulang sekolah, mendapati YangTi sedang duduk di ruang tengah. Menunggu YangKung. YangTi membelai rambut Bunda dan bilang, "kita belum bisa makan dulu. Belum ada uang untuk beli beras. Tunggu Bapak, ya. Mudah-mudahan, ada yang mau bayar, walau baru sepuluh ribu saja". Saat itu, nilai sepuluh ribu rupiah mungkin sama dengan seratur ribu rupiah saat ini. Bunda duduk berdua YangTi. YangKung rupanya sudah berangkat dari pagi, nagih-nagih ke klien kayaknya. Pulang-pulang, beneran bawa uang selembar sepuluh ribu rupiah. YangTi langsung ke pasar untuk beli beras dan beberapa lauk.

Mungkin karena pernah ngalamin cerita sejenis, pas Papa bilang, "ceritanya nggak ada emosinya", Bunda malah punya perasaan yang berbeda. Bunda sempet baper juga, karena memang pernah mengalami hal serupa dengan Bayek. Papa juga pernah ngalamin hal serupa, kok :D

Bersyukurlah kalian yang nggak ngalamin masa susah ketika kecil dan semoga nggak membuat kalian mati rasa melihat orang lain yang lebih susah dari kalian.

Kalimat-kalimat yang ditulis Iwan Setyawan ini sederhana dan mengena, mengalir juga. Walau "status" bukunya novel, tapi jadi kayak baca semi biografi. Yang agak "kurang" sebenernya saat ada hal-hal yang bisa diungkapkan secara emosional, keluarnya jadi datar. Terus terang agak geregetan jadinya. Namun di beberapa bagian emang ada juga penuturan yang bisa hit my nerve lalu nggak kerasa bikin meleleh. 

Mestinya sontreknya masih A Song for Mama juga, nih. Heuheu.


Sayangnya kurang ditunjang sampul yang mestinya bikin adem (Bunda kurang tertarik dengan sampulnya, ke-rame-an) plus banyak penuturan yang emosinya nggak keluar hingga terasa agak datar, Bunda tetep kasih bintang empat untuk Ibuk yang hebat dan menginspirasi semua ibu di dunia agar tidak menjadi ibu dan istri yang cengeng dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi anak yang hebat! :D

Semoga Bunda bisa jadi Ibuk yang baik buat kalian berdua! Aamiin...

Cheers and love! xoxo,





Terusin baca - ibuk, oleh Iwan Setyawan

17 Sep 2015

Negeri van Oranje by Wahyuningrat, dkk


Judul: Negeri van Oranje
Penulis: Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana
Editor: Gunawan B.S
Desain Sampul: Natalia
Pemeriksa aksara: Yudith
Penata aksara: Hanum
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
ISBN: 978-979-1227-58-2
Cetakan Ketiga, Juni 2009
Jumlah halaman: vii + 478 hlm; 20,5 cm
Genre: Novel, Fiction, Travel, Indonesian Literature, Romance, Humor, Adventures
Status: Punya, beli seken di tante Nadiah Alwi

Kata siapa kuliah di luar negeri itu gampang? Perkenalkan Lintang, Banjar, Wicak, Daus, dan Geri. Lima anak manusia terlahir di Indonesia, terdampar bersekolah di Belanda demi meraih gelar S2. Mulai dari kurang tidur karena begadang demi paper, kurang tenaga karena mesti genjot sepeda berkilo-kilo meter bolak-balik ke kampus setiap hari, sampai kurang duit hingga terpaksa mencari pekerjaan paruh waktu; semua pernah mereka alami.

Selain menjalani kisah susah senangnya menjadi mahasiswa rantau di Eropa, mereka juga menjalin persahabatan dan berbagai tip bertahan hidup di Belanda. Mereka pun bergelut dengan selintas pertanyaan di benak mahasiswa yang pernah bersekolah di luar negeri: untuk apa pulang ke Indonesia? Dalam perjalanan menemukan jawaban masing-masing, takdir menuntut mereka memiliki keteguhan hati untuk melampaui rintangan, menggapai impian, serta melakukan hal yang paling sulit: the courage to love!

Novel ini ditulis dengan gaya lincah, kocak, sekaligus menyentuh emosi pembaca. Kita juga akan diajak berkeliling mulai dari Brussel hingga Barcelona, mengunjungi tempat-tempat memikat di Eropa, dan berbagi tip berpetualang ala backpacker


Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...
Sebelum mereview, Bunda mau ngabarin sedikit berita sedih. Tahun ini, lagi-lagi kalian berdua gagal dapat adik seperti tahun lalu. Pertengahan Agustus 2015 ini, Bunda keguguran lagi, sama seperti Agustus 2014. Mungkin sudah saatnya Bunda berhenti berusaha memberi kalian berdua adik dan lebih fokus pada kalian berdua, karena ternyata kalian berdua itu begitu demanding terhadap Bunda, ya... Sedih? Jelas. Tapi ada sisi lega juga, karena ternyata kalian semakin demanding. Kebayang aja, sih, kalo ada adek bayi sementara situasi kalian lagi seperti ini, mungkin kalian tidak terurus. 

Sudah, ya, berita sedihnya. Sekarang Bunda pengen cerita tentang buku yang mulai Bunda baca sejak April apa Mei ini dan baru kelar 8 September 2015. Lama? Ya banget. Tebal? Nggak sampai 500 halaman padahal. Lalu kenapa sedemikian lama?
Ah... kisahnya panjang.... Haha. Tapi review Bunda mungkin bisa bikin kalian maklum, kenapa Bunda lama selesaiin bacanya (sebenernya bukan faktor utama banget, tapi faktor penunjang juga dan cukup krusial)


Sinopsis

Seperti yang dibahas di blurb di atas, Negeri van Oranje berkisah tentang persahabatan kelima mahasiswa yang sedang berjuang di Negeri Oranye alias Walanda, errr, Belanda. Mereka adalah Banjar, Daus, Wicak, Geri, dan Lintang. Sebenernya, kelima orang ini nggak datang dari kampus yang sama, bahkan mereka ini beda kota semua. Ada yang di Den Haag, Wageningen, Leiden, Utrecht, Amsterdam, dan lainnya (lupa lagi. hihi)

Mereka menamai diri mereka sebagai Aagaban, sering ngobrol ngocol lewat conference di Yahoo Messenger group. Mereka sangat dekat satu sama lain walau masing-masing dari anggota Aagaban ini punya masalah pribadi yang cukup rumit, misalnya aja Daus yang sering gagal berbuat maksiat padahal mumpung lagi di "surga tempat maksiat" ~ mungkin doa Engkongnya sedemikian melekat jadi dia selalu terlindungi dari berbuat maksiat. Banjar yang kehabisan duit sehingga ngos-ngosan cari kerja sambilan di sebuah restoran Indonesia. Lintang yang punya mimpi bersuamikan bule ganteng, tapi sering kandas setiap pacaran dengan para bule itu. Wicak dengan masalahnya sendiri juga. Cuma Geri yang kayaknya sempurna. Ganteng, anak orang kaya, pinter, manis. Tapi jujur, Bunda selalu curiga dengan pria macam ini. Hehe.

Romance-nya muncul ketika ternyata para pria ini bersaing mendapatkan Lintang. Di akhir tahun mereka berada di Belanda, para pria ini ternyata perang dingin karena ternyata mereka sama-sama memendam perasaan pada Lintang. Yah, seperti yang Sarah Sechan bilang di acara talkshow-nya pas para pemain Negeri van Oranje hadir, "pada akhirnya Lintang hanya memilih satu dari keempat pria itu".

Yes, Negeri van Oranje dibuat filmnya. Sejujurnya, Bunda pengen banget nonton, karena pengen tau gimana feelnya kalo dibuat film.




Sedikit bocoran aja (sampai Bunda ngetik review ini belum nemu trailer filmnya soalnya) orang-orang yang bakalan jadi karakter-karakter di Negeri van Oranje adalah sebagai berikut:

Abimana Aryasatya sebagai Wicak
Ge Pamungkas sebagai Daus
Arifin Putra sebagai  Banjar
Chico Jericho sebagai Geri
Tatjana Saphira sebagai Lintang
Bunda emang pengen baca Negeri van Oranje sejak awal terbit, tapi entah kenapa tiap beli buku kelupaan mulu ambil yang ini. Nah, karena teman-teman Kubugil udah pada baca (jelas laaaah, kan, ada uwa Aaqq yang ikut berkontribusi nulis novel ini), Bunda nggak mau ketinggalan doooong. Eh, buku di tangan udah dari tahun 2010 kalo ga salah, tetep aja kelupaan mau baca. Padahal buku ini udah banyak cetak ulangnya.

Sampai akhirnya, awal Maret 2015 lalu, pas Bunda lagi iseng cari buku buat dibaca, Bunda ambil buku ini dari rak dan malah papa duluan yang terlihat menikmati bacanya. Hihihi... Bunda jadi pengen baca juga karena bentar lagi kan filmnya mau tayang. 



Oke, ini Review Bunda

Pertama, soal pertemuan mereka kalo menurut Bunda terbilang too good to be true kalo buat langsung jadi akrab dan bersahabat sekaligus mengingat latar belakang mereka sangat jauh berbeda, tapi yah, faktor mereka "sama-sama mahasiswa Indonesia" bisa dimaafkan lah sedikit :D

Kedua, Bunda melihat novelnya itu hanya casing. Di halaman pertama, kesannya bagus banget. Wah, kayaknya seru, nih! Tapi, setelah masuk ke halaman berikutnya, kesan yang sampai ke Bunda adalah buku ini sebenernya panduan jadi mahasiswa di Belanda (kayak tips dan berbagi pengalaman selama jadi mahasiswa di Belanda plus jalan-jalan ala backpacker) yang dibungkus novel.

Ketiga, karena bikin ceritanya berempat dan dipaksakan untuk satu gaya cerita, jadi aneh. Jujur, ini yang bikin Bunda susah payah menelan cerita di sini karena gaya cerita yang dipaksakan untuk jadi satu gaya. Kenapa? Yang nulis berempat, kan? Tiap orang itu isi kepala dan gaya menulisnya berbeda. Sehingga, Bunda perhatikan, setiap karakter di sini bisa diceritakan dengan gaya yang mengalir dan menyenangkan, tapi kadang boriiiiiiiing banget cara menceritakannya sampai males nerusin ke halaman berikutnya. Ada juga yang disampaikan dengan style kayak di novel tante Otak Prima itu. 

Keempat, hampir semua deskripsi ceritanya membosankan, kecuali beberapa line yang bikin bunda ngakak. Misalnya, "Ketiganya punya prinsip serupa: bikin dosa, minimal berjamaah." (hal 275). Hahahaha...

Kelima, romance yang terbangun di cerita ini terlalu ringan, jadi malah garing. Hihihi. Entah kalo di film nanti. 

Keenam, buku ini bercerita tentang teknologi pada masanya. Jadi ketika dibaca enam tahun setelah buku itu terbit, agak terkaget-kaget juga, sih, mengingat dalam enam tahun, telah terjadi kemajuan teknologi sedemikian dahsyatnya. Hihi. Tapi lumayan lah, buat sedikit pengingat bahwa pada masa itu, teknologi yang paling canggih adalah komputer berprosesor dual core :D *belum disinggung tablet sih, karena Wicak masih pake PDA a.k.a Personal Digital Assistant*

Ketujuh, ini plusnya, hampir keseluruhan dialognya menyenangkan dan hidup, jadi ya lumayan bisa jadi alasan untuk bertahan membaca dan juga penasaran kalo dibuat film seperti apa jadinya. 

Oya, papa protes tuh, kenapa bukan kecengannya (Chika Jessica) yang jadi pemeran Lintang. Diiiih!  Walau di novel diceritakan kalo Lintang itu cempreng, tapi Bunda mah ga ridho kalo Chika Jessica yang meranin jadi Lintang. Syukurlah, yang jadi Lintang itu Tatjana Saphira. Haha. Bukan cemburu ama Chika Jessica, sih, cuma gimana, ya... nggak banget lah kalo hanya kecemprengan yang dinilai layak memerankan Lintang. 

Papa ngecengin Chika Jessica? Ya begitu, deh, selera cewek-cewek papa. Tipenya semacam. Mulai dari Fitri Tropika, Chika Jessica, dan cewek heboh semacam mereka itulah. Hihihi. Untunglah karakter Bunda yang kalem menghanyutkan gitu, jadi bisa menetralkan selera aneh papa. Ups! /dipentung :D *nggak meremehkan atau merendahkan mereka, kok, cuma yah... kurang sreg aja ama style beliau-beliau :D*

Nah, jadi untuk beberapa alasan di atas, bintang tiga lumayan banyak loh, ya...

Btw, ternyata Arifin Putra itu ganteng pake banget, yaaaaa.... hihihi....

Cheers and Love! xoxo,




Terusin baca - Negeri van Oranje by Wahyuningrat, dkk

18 Feb 2015

Our Story by Orizuka



Judul buku: Our Story
Penulis: Orizuka
Penyunting: Agatha Tristanti
Penata letak: Teddy Hanggara
Desain sampul: Teddy Hanggara
Foto: Chusnul Chairudin
Penerbit: Authorized Books
Cetakan kedua, 2011
Jumlah halaman: 240 hlm, 13.5 cm x 19 cm
ISBN: 978-602-96894-1-9


Masa SMA. 
Masa yang selalu disebut sebagai masa paling indah, tapi tidak bagi anak-anak SMA Budi Bangsa.

SMA Budi Bangsa adalah sebuah SMA di pinggiran ibukota, yang terkenal dengan sebutan SMA pembuangan sampah karena segala jenis sampah masyarakat ada di sana.

Preman. Pengacau. Pembangkang. Pembuli. Pelacur.

Masuk dan pulang sekolah sesuka hati. Guru-guru honorer jarang masuk dan memilih mengajar di tempat lain. Angka drop-out jauh lebih besar daripada yang lulus. 

Sekilas, tidak ada masa depan bagi anak-anak SMA Budi Bangsa, bahkan jika mereka menginginkannya.

Masa SMA bagi mereka hanyalah sebuah masa suram yang harus segera dilewati.

Supaya mereka dapat keluar dari status 'remaja' dan menjadi 'dewasa'. Supaya tidak ada lagi orang dewasa yang bisa mengatur mereka. Supaya mereka akhirnya bisa didengarkan.

Ini, adalah cerita mereka.


Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...
Ini adalah buku kedua dari author Orizuka yang Bunda baca. Sejauh ini, Bunda menikmati gaya bertutur Orizuka.

Our Story bermula dari seorang Yasmine, murid pindahan dari US, yang pendaftaran sekolahnya diurus oleh supir teman ayahnya. Yasmine kaget banget (lebih tepatnya shocked) ketika sekolah yang didatanginya jauh dari kesan sekolah internasional yang seharusnya, karena supir teman ayahnya itu (sepertinya) salah dengar dari kata SMA Bukti Bangsa (yang bertaraf internasional) malah mendaftarkan Yasmine ke SMA Budi Bangsa yang terkenal sebagai sekolah buangan.

Uang tiga puluh juta rupiah yang sudah digelontorkan untuk sekolah barunya itu nggak mungkin bisa diambil lagi. Yasmine cuma bisa bengong ketika dia bersekolah yang bisa dibilang, hidup nggak, mati segan.

Sebagai anak baru, bukan nggak mungkin Yasmine dibully oleh teman sekelasnya. Di sekolah itu ada ketua geng, Nino namanya, yang ditakuti geng-geng lain. Entah kenapa, Nino tidak mengganggu Yasmine sama sekali. Di antara siswa-siswa yang bisa dibilang nggak jelas masa depannya, Yasmine menemukan satu siswa yang kayak oase gitu. Namanya Ferris, yang juga jadi Ketua Osis, meski semua proposalnya selalu ditolak oleh sang kepala sekolah. Yasmine bisa akrab dengan Ferris dan akhirnya ikut Ferris berjuang di sekolah itu.

Perjalanan Yasmine selama menjadi siswa di SMA Budi Bangsa nggak menyenangkan dan membuatnya semakin benci sekolah. Nggak di US, nggak di negeri sendiri, masa SMA baginya nggak jauh-jauh dari neraka. Setelah ngobrol banyak dengan Ferris, Yasmine akhirnya mencoba mengubah cara pandangnya terhadap sekolah. Sampai akhirnya memang di bulan-bulan terakhir menjelang UN, terjadi perubahan drastis yang cukup mencengangkan: anak-anak itu mau belajar supaya lulus. 

Kalo Bunda ibaratkan, membaca Our Story ini seperti mengupas bawang. Oleh Orizuka, setiap lapis demi lapis diramu sedemikian rupa sehingga semakin mendekati akhir, gas air mata semakin kuat diembuskan dan mampu membuat pertahanan air mata kita jebol. Nggak, Bunda nggak lagi bicara soal menangis, karena Bunda sama sekali nggak menangis ketika baca Our Story. Yang Bunda maksudkan adalah setiap penokohan  karakter di sini kuat dan punya alasan masing-masing untuk berdiri di dalam cerita. Bahkan, setiap karakter dalam cerita ini mampu membuat ceritanya sendiri. Gimana Bunda bisa bayangin sosok Nino, Ferris, Yasmine, Mei, bahkan sampai Sisca sekalipun, dalam kisah mereka masing-masing.

Ferris kalo Bunda bayangin, dia cocok diperankan oleh Kang Ha Neul.  


Nino.. cocoknya oleh siapa, ya? Sebelumnya soalnya yang kebayang tukang bully itu pernah diperanin Kim Woo Bin, sih... 


Tapi kayaknya Lee Jong Suk cocok juga. Hahahaha...


Ini kok kayak nyuruh Our Story dibuat cerita versi drama koreyahnya, sih. Hahaha... 

Cover yang dibuat dengan nuansa kelam ini sebenernya udah memperlihatkan banget daleman ceritanya akan seperti apa. 

Bunda jadi teringat waktu Tante Asih mengajar jadi guru STM. Sekolah di mana kadang ada anak yang udah enam bulan nggak sekolah, sekolah yang di saat lagi ujian, salah satu tugas Tante Asih adalah kasih lembar jawaban ke masing-masing murid sebelum guru pengawas datang. Kalopun guru pengawas datang, sudah diamini oleh mereka. Karena ini emang kerja mereka. Yang penting, reputasi sekolah tetep dengan semua anak lulus, walau anaknya entah belajar entah nggak. Entah pernah masuk sekolah entah nggak. Yang penting pas ujian masuk dan lulus.

Tentu jadi beban berat untuk menjadi guru yang ditempatkan di sekolah seperti itu. Sekolah yang hidup segan, tapi mati juga nggak mau. Dengan berbagai tipe siswa, mulai dari yang cuma datang satu semester sekali, siswa yang udah tiga tahun nggak bayar uang sekolah, tapi rajin sekolah, walau buku aja mungkin dia nggak bawa, yang datang pagi terus entah ke mana ~ yang jelas berseragam, dan lain-lain dan lain-lain. Bunda jadi ngerti alasan anak-anak itu: dengan masuk sekolah, entah apa pun yang dilakukan di dalamnya, ada tempat "berlindung" dari kejamnya dunia luar. Kalo status mereka sudah lepas dari sekolah, mereka berubah jadi orang dewasa yang nggak lagi punya tempat berlindung.

Our Story menggambarkan banyak sekolah "bobrok" di Indonesia yang nggak keekspos cerita sebenernya. Alhamdulillaah, Bunda selalu bersekolah di sekolah yang terjamin, sehingga ketika mendengar sendiri cerita sejenis ini, Bunda cuma bisa bergidik. Begitu juga pas baca. Ada banyak sekali PR untuk pendidik, terutama di Indonesia ini, untuk meraih anak-anak yang terbilang "madesu" (masa depan suram). Miris? Iya. Itu sebabnya, selalu ada jurang yang sangat curam antara orang mampu dengan nggak mampu, apalagi menyangkut masalah pendidikan dan kepedulian.

Teriring doa dan harapan, semoga Bunda dan Papa bisa selalu menyekolahkan Kakak Ilman dan Adik Zaidan di sekolah yang layak, sehingga kalian bisa mendapatkan pendidikan yang layak, sesuai kebutuhan kalian.

Yasmine tahu, ia datang ke sekolah ini untuk sebuah alasan. Semua anak datang ke sekolah ini dan bertemu untuk sebuah alasan. Mereka semua masih berada di sini hari ini untuk sebuah alasan.

Masing-masing memiliki cerita. Masing-masing berbagi cerita. Masing-masing mendengarkan cerita. Dan cerita ini, tidak akan berakhir sampai di sini. Cerita itu masih akan terus berlanjut. ~p229

Love you both. Cheers! xoxo


Terusin baca - Our Story by Orizuka

30 Jan 2015

PostBarSSBBI2014 - Meet the Sennas by Orizuka


Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...
Sama seperti di postingan sebelum posting ini, Bunda tetep nggak akan ngebongkar siapa Santa Bunda. Hihihi. Bunda hanya akan posting review aja. Sebetulnya nggak wajib review keduanya, sih. Tapi, berhubung Bunda udah kelar bacanya (salah satunya karena ada event Readathon Day pada hari Sabtu lalu, 23 Januari 2015), Bunda merasa harus bikin reviewnya juga. Ini salah satu bentuk terima kasih Bunda pada Santa, kan...


Judul: Meet the Sennas - Bahkan Matematika pun Nggak Serumit Cinta
Penulis: Orizuka
Penyunting: Dellafirayama
Penyelaras aksara: Fakhri Fauzi, Lian Kagura
Penata aksara: Nurhasanah
Perancang Sampul: Fahmi Ilmansyah
Penggambar ilustrasi: Maima Widya Adiputri
Diterbitkan oleh teen@noura
Cetakan I, Januari 2014
ISBN: 978-602-7816-66-4
Jumlah halaman: 364 + Galeri halaman, 13x19 cm
Genre: Novel Remaja, Romance, Family, Young Adult, Coming of Age, Indonesian Literature, Contemporary Fiction, Humor
Status: PUNYA. Hadiah dari Santa

Aku Daza Senna.
Anak kedua dari tiga bersaudara. Yang artinya aku anak tengah...

Astaga. Aku menulis apa, sih?
Oke, mari coba lagi.

Aku Daza Senna.
Aku tinggal bersama orang-orang yang sama sekali tak bisa disebut normal. Dan sialnya, orang-orang itu adalah keluargaku.

Hmm, ini sudah lebih bagus.

Siapa sih yang mau tinggal dengan orang-orang yang memberi semacam formulir pendaftaran dan serangkaian ujian kepada setiap cowok yang ingin dekat denganku? Memangnya cowok-cowok itu mau SNMPTN? Coba bayangkan penderitaanku. Belum terbayang? Berarti kalian harus bertemu dengan mereka.

Tinggal bersama keluarga besar yang hampir semuanya "aneh" itu luar biasa. Hihihi. Setiap hari, pasti ada yang dicemaskan. Ketika Daza ulang tahun ke-17, semua anggota keluarganya memberinya hadiah-hadiah luar biasa. Luar biasa menyebalkan maksudnya. Mulai dari Bundanya yang menghadiahinya Rumah Barbie, Ayahnya yang menghadiahinya piano Casio kecil (aduh, itu jaman Bunda SD, harganya mahaaaaal banget! Tapi keren, dan Bunda seneng banget maininnya. Entah barang itu berada di mana sekarang. Sudah rusak, mungkin?), Kakek yang menghadiahinya sempoa, Nenek yang memberinya ban renang berbentuk bebek berwarna pink, Om Sony memberi komik Doraemon jilid pertama, Tante Amy yang menghadiahi Daza sebuah diari dengan bau menyengat, Denis, abang Daza, memberinya gamewatch Tetris yang bisa ditekuk, dan terakhir, Zenith, adik Daza, memberinya permainan halma.

Sebenernya semuanya nggak aneh, sih, kalo menurut Bunda. Namanya juga hadiah ulang tahun. Tapi yang paling ajib emang hadiah dari Bunda dan Nenek. Di satu sisi, ini jelas aneh, sebetulnya, mengingat ternyata, Kakek dan Ayah Daza adalah konglomerat. Jadi, mereka pasti mampu beliin hadiah super mewah. Kemudian, di sisi lain, Daza adalah seorang gadis SMA yang sedang bertumbuh, wajar saja kalo dia berharap ada hadiah keren, misalnya mobil (ingat, ini Daza yang sedang berulang tahun ke-17, berasal dari keluarga kaya tujuh turunan, dan sudah boleh punya KTP juga SIM, kan?) atau apa, deh, hadiah lain yang agak-agak waras. 

Nggak sampai di situ. Tante Amy sedang hamil besar, ternyata menikah dengan teman kuliahnya, yang lalu meninggalkannya, tapi Tante Amy santai aja. Kayak nggak ada masalah atau beban, padahal dia sedang mengandung. Badass, sih, menurut Bunda, Tante Amy ini. Karena dia santai dengan persoalan besar ini. Kebayang kalo Bunda yang ngalamin.

Cerita bermula dari keputusan Ayah untuk memberi Daza seorang guru les matematika. Guru les matematika Daza ini adalah sahabat Dennis yang super galak. Udahlah Daza benci Matematika, ditambahin lagi harus les Matematika, setiap hari. Namanya Logan.

Ternyata, Logan ini galak-galak ngangenin. Meski Logan galak, judes, menyebalkan, dia telah berhasil membuat Daza memikirkannya. Kalo Daza bertanya urusan pribadi Logan, Logan pasti marah dan memintanya untuk nggak mencampuri urusannya.

Sementara itu, ada seorang Dalas yang manis, yang jelas-jelas suka padanya. Mereka memutuskan jadian, tapi back street, karena Daza khawatir, Dalas akan dikerjai oleh keluarganya. Ternyata benar! Meski mereka pacaran back street, ketahuan juga hingga akhirnya Dalas harus mengikuti ujian demi ujian supaya bisa menjadi bagian dari keluarga Daza. Duh. Kebayang, ya, kalo anak Bunda diperlakukan begitu sama keluarga pacarnya... Bunda pasti nggak rela. Terlebih lagi, ternyata emang keluarga Daza nggak menginginkan keberadaan Dalas, meskipun Daza suka padanya atau Dalas suka banget sama Daza.

Meet the Sennas menurut Bunda pas buat jadi bacaan remaja. Dari segi bahasa dan penuturan enak banget, mengalir. Humor yang dilemparkannya juga segar, nggak krik krik. Gaya penuturan Orizuka nggak kaku untuk novel remaja ini. Bunda kemudian baru tahu kalo ternyata sebelumnya, Meet the Sennas pernah diterbitkan dengan judul berbeda di tahun 2006. Nggak diceritakan oleh penulisnya gimana nasib bukunya itu. Yang jelas, di Meet the Sennas, pastinya banyak perombakan yang disesuaikan dengan tahun terbit, 2014.

Covernya pun dibuat segar. Warnanya eye catching, meski Bunda nggak ngerti, kenapa gambarnya harus roti? :D Bookmarknya juga lucu.
Ilustrasi bagian dalam juga pas untuk ukuran novel remaja. Cuma bagi Bunda, masih kurang bikin naksir sama Logan kalo berdasarkan ilustrasi semata. Tapi, Bunda bisa kebayang cakepnya Logan atau cute-nya Dalas, kalo dari imajinasi cerita. Hihihi...

Sepertinya, Bunda masih bisa baca novel buat remaja, ya. Hihihi. Mungkin aja, kalo teman-teman seusia Bunda baca ini bakal bilang, garing atau apa. Bunda sih suka-suka aja. Walau Bunda emang nggak berharap banyak sama cerita ini, Bunda mendapat twist yang cukup keren. Bunda kasih tiga untuk Meet the Sennas ;)


Cheers! Love you both! xoxo




Terusin baca - PostBarSSBBI2014 - Meet the Sennas by Orizuka

20 Jun 2014

Tokyo ~ Falling (Setiap Tempat Punya Cerita #6) by Sefryana Khairil

Judul: Tokyo ~ Falling (Setiap Tempat Punya Cerita #6)
Penulis: Sefryana Khairil
Editor: Ayuning dan Gita Romadhona
Proofreader: Mita M. Supardi
Penata letak: Landi A. Handwiko
Desain sampul: Levina Lesmana
Ilustrasi isi: Tyo
Penerbit: Gagas Media
Cetakan kedua, 2013
Jumlah halaman: x + 338 hlm; 13 x 19 cm
ISBN: 979-780-663-4
Genre: Novel, Romance, Contemporay Fiction, Love
Status: Punya. Beli di Rumah Buku
Harga: IDR 53,000
Pembaca tersayang, 
Musim panas di Tokyo selalu memiliki banyak warna. Sefryana Khairil, penulis Sweet Nothings dan Coba Tunjuk Satu Bintang, mengajak kita berkeliling di Negeri Sakura bersama dua wartawan bernama Thalia dan Tora.

Keduanya dipertemukan oleh sebuah lensa. Lalu, Danau Shinobazu membuka mata keduanya, tentang bahwa kenyataan sering sekali berbeda dengan asumsi mereka pada awalnya. 
Thalia dan Tora berbagi tawa dan saling menyembuhkan.
Hingga mereka sama-sama ragu, benarkah semuanya hanya sekadar kebetulan? Ataukah ini adalah satu dari misteri Ilahi yang belum mereka temukan jawbannya?

Setiap tempat punya cerita.
Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Negeri Timur yang sarat akan aroma lembut bunga sakura.

Enjoy the Journey,
Editor


Halo, Kakak Ilman dan Adik Zidan...

Bunda percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada. Mungkin itu yang terjadi antara Bunda dengan Papa. Begitu pertama ketemu, langsung muncul rasa sayang, padahal kenal juga belum. Tahu latar belakangnya juga belum. Tapi, di hari-hari kemudian, Papa adalah orang yang selalu berusaha menjaga hati Bunda. Selalu tahu apa yang tidak Bunda sukai dan berusaha supaya Bunda tidak merasa terluka.

Waktu itu, Bunda masih punya pacar. Sampai suatu ketika, teman Papa nanya ke Papa, "mau sampai kapan nemenin dia (Bunda, maksudnya)?" Jawaban Papa ketika itu adalah, "sampai si cowoknya serius. Kalo cowok itu serius ke dia, saya baru pergi."


Yang jelas, selama bersahabat dengan Papa, Bunda merasakan kenyamanan yang nggak pernah Bunda dapatkan dari pacar atau sahabat Bunda yang lain. Bersama Papa ketika itu, Bunda nggak takut sama apapun. Bunda yakin dan percaya diri. Bahkan, ketika ternyata Bunda terlambat lulus kuliah, Papalah yang senantiasa mendukung Bunda, benar-benar membantu, bukan sekadar menyemangati kayak pacar Bunda dan mamanya yang cuma bisa omdo nanyain gimana progres skripshitsi Bunda.

Jadi, ketika membayangkan kalo suatu hari tiba-tiba pacar Bunda serius mau menikahi Bunda, Bunda langsung merasa sedih, karena kenyamanan yang Bunda rasakan dengan Papa seolah-olah akan direnggut dari Bunda. Akhirnya, setelah memikirkan, menimbang, Bundapun memutuskan meminta pacar Bunda ketika itu untuk menyudahi hubungan kami berdua. Daripada memaksakan diri?

Nah, ini yang terjadi antara Tora dan Thalia dalam cerita ini. Keduanya sama-sama wartawan yang ketemu nggak sengaja karena bertabrakan di sebuah event yang mereka liput, yang mengakibatkan telephoto lens milik Thalia retak. Karena keduanya pakai lensa itu untuk kebutuhan liputan mereka, akhirnya mereka melakukan liputan bareng dengan pakai lensa yang sama, bergantian.

Tora dan Thalia datang ke Tokyo, selain untuk tugas meliput, juga ingin menemui mantan pacar masing-masing. Tora ingin bertemu Hana, mantan pacarnya. Tora ingin menemukan kejelasan, kenapa Hana memutuskannya dan ingin memperbaiki hubungan mereka. Begitu juga dengan Thalia. Dia ingin bertemu Dean dan mengulang lagi kisah mereka, menemukan kepastian yang ditunggunya.

Yang terjadi adalah: semuanya buyar.

Tora nggak lagi bisa menjalin hubungan dengan Hana karena Hana hendak menikah dengan pria lain. Sementara Thalia? Dia sering harus menelan kekecewaannya karena Dean sering tiba-tiba membatalkan janji dengan alasan dia ada meeting mendadak. Meski akhirnya apa yang diimpikan Thalia jadi kenyataan, Dean melamarnya dan bahkan merencanakan pernikahan mereka, Thalia merasa bahwa dia sangat nyaman dengan Tora. Bukan dengan Dean.

Baca cerita ini, kita serasa diajak jalan-jalan mengenal Tokyo dan sekitarnya. Ikut mengenal bahasa Jepang dan budayanya. Nggak hanya itu, kita diajak ikut hanyut dalam perasaan Tora dan Thalia. Meski belum pernah menginjak Tokyo dan sekitarnya, tapi apa yang dirasakan Tora dan Thalia itu pernah Bunda rasakan juga.

Penulis berhasil membawa emosi cerita sekaligus memperkenalkan seluk beluk kota Tokyo, transportasi yang digunakan dan beberapa kebiasaan yang ada di Jepang dengan mengalir. Meski banyak catatan kaki (Bunda rasa catatan kakinya perlu banget) nggak berasa mengganggu karena kita langung dapat informasi saat itu juga.

Ah... Rasanya jadi makin pengen aja pergi ke Jepang. Hihihi... *belajar bahasa Jepang dulu dengan serius, Bun!*

Bunda suka dengan Tora. Meski dia nggak serapi Dean, tapi dia melindungi dan memahami Thalia dalam hitungan hari. Dia langsung tahu kalo Thalia nggak suka sayuran, jadi pas makan bareng, Tora selalu memisahkan sayuran di mangkuk Thalia. Awwww.... Rasanya nggak berlebihan kalo Thalia kemudian jatuh hati pada Tora, karena Tora sudah memberikannya rasa nyaman yang belum pernah dirasakannya dari Dean. Tora bisa jadi book boyfriend Bunda, nih... :D

Eh, ini quote favorit Bunda

Rindu ini sedang mencari arah.
Tanpamu, ia tidak tahu jalan pulang

Satu bintang untuk Tora.
Satu bintang untuk Tokyo.
Dua bintang untuk ceritanya yang hangat.

Diposting juga untuk:
Lucky No. 14 Challenge
Indonesian Romance Reading Challenge



Love you both... Cheers!



Terusin baca - Tokyo ~ Falling (Setiap Tempat Punya Cerita #6) by Sefryana Khairil

7 Apr 2014

Belajar Berempati kepada Dokter Lewat Buku Ajar Koas Racun by Andreas Kurniawan, dr.


Judul: Buku Ajar Koas Racun - Panduan Wajib --bertahan hidup-- untuk Koas dan Mahasiswa Kedokteran
Penulis: Andreas Kurniawan, dr
Penyunting: Agus Wahadyo
Desain cover: Mutia Han
Penata letak: Andipa
Diterbitkan pertama kali oleh Mediakita
Cetakan kedua, 2012
Genre: Komedi, Non-fiksi, Indonesian-Literature, Kedokteran
ISBN: 979-794-365-8
Jumlah halaman: XII + 256 hlm; 13 x 19 cm


Hidup di dunia medis membuat kita (koas) memiliki satu kelebihan. Kita bisa menerapkan ilmu medis dalam melancarkan gombalan. Itu akan terlihat SANGAT KEREN.
"Mama kamu dulu ngidam lithium ya? Soalnya kalau deket kamu, mood aku yang biasanya naik turun, sekarang jadi stabil." [SUKSES!]

Tapi, gombalan ala medis kadang memiliki efek samping yang tidak diharapkan.

"Mama kamu dulu ngidam lithium, ya? Soalnya muka kamu kotak kayak batere HP." [GAGAL!]

***

KOAS...! Ini yang membuat mahasiswa Fakultas Kedokteran percaya bahwa neraka itu benar ada. Buku Ajar Koas Racun ini, selain menuturkan pengalaman yang mengundang gelak tawa, juga akan memberi pelajaran baru dalam melewati rintangan-rintangan yang kerap menghadang koas, seperti saat menghadapi konsulen (penguji) ketika ujian.

Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...

Bab pertama buku ini, judulnya Koas dan Jaga Malam. Yang dimulai dengan
Jaga malam, kata yang berpotensi membuat koas merinding dari ujung rambut hingga ujung bulu jempol kaki. Setelah lelah seharian digiling di rumah sakit, seorang koas akan diperas kembali di IGD dari pukul 3 sore hingga pukul 6 pagi keesokan harinya. Jaga malam ini terjadi secara bergiliran dari hari ke hari, tergantung stase yang dijalani. Lain halnya dengan satpam yang kalau habis jaga malam diperbolehkan libur keesokan harinya, seorang koas yang sudah selesai jaga tetap harus menjalani pendidikan seperti biasa keesokan harinya.

Horor banget, ga sih?

Jadi zombie semaleman, terus masih mesti belajar di pagi hari. Nanti sore diperas lagi (emang sapi?) buat jaga di IGD. Bunda pernah sih, ada berjam-jam di UGD. Sewaktu nungguin hasil tes darah adek Zidan, plus Bunda sendiri pas menjelang rawat inap. Kalo pas Bunda yang mau dirawat sih, Bunda ga ngeliat langsung seluruh kesibukan UGD, karena Bunda berbaring, ruangan ditutup. Boro-boro pengen ngeliat sekitar, badan Bunda rasanya ambruk banget :D

Tapi, pas nemenin adek, karena saat itu Bunda dalam keadaan sehat, jadi Bunda menyaksikan banyak hal di UGD. Jadi, pas baca cerita tentang pengalaman para koas di buku ini, yang kebayang sih, kondisi para koas.

Nah, dengan segala kengocolannya lewat buku ini, Bunda jadi yakin bahwa para dokter sebetulnya manusia biasa. (Lah, jadi selama ini Bunda nganggep dokter apa? Dewa? x)))
Di sini diceritain juga tentang koas "pengundang pasien" dan "penolak pasien". Entah gimana, kok, berasa mistis gitu kedengarannya. Hihihi...

Jadi ingat, dulu, Yangkung pengen banget Bunda masuk FK, supaya Bunda bisa jadi dokter yang menolong orang banyak. Bahkan kalo bisa, kelak Bunda jadi dokter kaya yang kalo meriksa orang (terutama orang-orang ga mampu) bisa gratis, termasuk biaya operasi, rumah sakit, dll.
Bunda sekarang ngerti kenapa Yangkung dulu keukeuh pengen Bunda jadi dokter. Sayangnya, Bunda yang ga mau. Pertama, Bunda ga tahan bau-bauan bahan kimia (terutama yang beneran nyegrak kayak formalin atau asam asetat). Sementara buat jadi dokter, harus sering main dengan bahan-bahan kimia serupa, bahkan dengan yang lebih strong.

Kedua, Bunda ga kuat liyat darah segar lama-lama. Pasti pusing. Mungkin karena nggak biasa, kali ya. Tapi ga tau juga, kalo nekat cuma dua kemungkinan: jadi kebal atau malah sakit jiwa. Ketiga, Bunda orangnya ga tegaan. Gampang melow. Kebayang, kan, kalo misalnya mesti nyuntik, terus pasien belum apa-apa udah jerit-jerit ketakutan, Bunda kemungkinan besar ga melakukan tindakan. Haha. Nonton film berdarah-darah aja langsung mual, kok.

Keempat, Bunda ga terlalu suka ngafal, kecuali buat ngegombal. Dengan literatur sebanyak itu, masa iya semuanya bakalan jadi modal ngegombal? Kan nggak... Kasian pasiennya ntar... :D
Masih banyak alasan lain yang memang dasar aja Bunda ga mau jadi dokter :P

Bukan cuma tentang Koas dan Jaga Malam yang diceritain di sini. Ada tentang Koas dan Guru. Guru di sini ga cuma dosen atau yang mereka sebut dengan konsulen, tapi juga kadaver (mayat yang dijadikan bahan pelajaran koas) termasuk pasien-pasien yang mereka hadapi langsung. Ada juga cerita tentang tulisan dokter yang katanya jelek itu, tentang dokter yang katanya nggak bisa sakit itu, koas dan kejombloan, koas dan ujian, plus tentang koas yang nggak lagi nyante kalo nonton film atau baca buku yang bawa-bawa dunia kedokteran. Hihi. Tentu saja, bagian favorit Bunda adalah yang Bunda sebutkan terakhir barusan. Karena sukses bikin ngikik.

Oya. Dari tadi mungkin Kakak atau Adek bingung. Koas itu apa, sih? Kalo menurut tante Dewi, koas itu sebutan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran tingkat klinik. Kisaran tingkat 5-6).

Seru banget baca buku ini, sih. Baca kisah-kisahnya menyegarkan mata dan hati. Bunda nggak nyangka, selain tante A.s Dewi yang seorang dokter ngocol plus kacrut, ternyata banyak dokter lain yang sama kacrut. Menurut tante Dewi, yang lebih kacrut dari beliau banyak. Cuma Bunda aja nggak kenal, gitu katanya.

Sesuai judul review Bunda di atas, buku ini tetep bermanfaat buat kita atau mereka yang nggak pernah icip-icip sekolah di Fakultas Kedokteran. Minimal, kalo inget, kirimin makanan, gitu, ke IGD. Hihihi...

Terlepas dari semua pujian di atas, Bunda menyayangkan tata letak komik meme yang memotong cerita. Mungkin mestinya ditaruh di akhir bab aja kali, ya. Ilustrasinya emang menjelaskan cerita, sih, kadang. Tapi kurang enakeun aja gitu liyatnya.

Bintang empat, layak dong, buat om Andreas dan semua dokter yang ada di Indonesia. Fighting, ya!

Cheers! Love you both,



Terusin baca - Belajar Berempati kepada Dokter Lewat Buku Ajar Koas Racun by Andreas Kurniawan, dr.