14 Nov 2025

[Review] Rumah Pohon Kesemek - Sakae Tsuboi

 




Judul: Rumah Pohon Kesemek  
Penulis: Sakae Tsuboi
Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari 
Penyunting: Reda Gaudiamo
Penyelaras Aksara: Andry Setiawan
Pemeriksa Bahasa: Ribeka Ota 
Penata Sampul dan Isi: Propanardilla
Illustrator Sampul dan Isi: Puty Puar 
Cetakan kedua, Januari 2023
Diterbitkan oleh Penerbit Mai
Jumlah halaman: 62 hlm
QRCBN: 62-1494-5219-467
Genre: Fiction, Japan Literature, Children, Classics  
Status: Pinjem sama tante Disty (mama Heka)


Di belakang rumah Fumie dan Yoichi berdirilah sebuah pohon kesemek besar. Pohonnya memukau, besarnya selebar rentangan lengan anak-anak. Pohon itu menemani keseharian keluarga Fumie dan Yoichi, menyaksikan setiap kegembiraan juga kesedihan mereka.

Halo, Kakak Ilman dan Adek Zi...

Rumah Pohon Kesemek merupakan sekumpulan cerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, Fumie, Yoichi, Kakek, Nenek, Paman, dan Bibi Santaro. Keluarga ini memiliki pohon kesemek yang besar yang sudah menemani keluarga mereka sejak Kakek masih kecil. 

Pohon kesemek milik keluarga ini berbuah sangat banyak dan berlimpah ruah, sampai pohonnya melengkung keberatan buah-buahnya. Namun, suatu ketika, terjadi kekeringan yang cukup menyusahkan warga desa, seakan-akan ada hubungannya dengan suburnya buah kesemek. Setelah berunding, diputuskan untuk membuat sumur agar dapat memenuhi kebutuhan air warga desa itu, yang berlokasi di halaman belakang rumah keluarga Yoichi. Ketika air sumur berhasil mengatasi masalah kebutuhan air warga desa, pohon kesemek berhenti berbuah. Kakek menyadari bahwa beliau meletakkan batu-batu di sekitar akar pohon kesemek yang mengakibatkannya tidak berbuah. Kakek merasa bersalah, lalu mengangkat satu persatu batu-batu itu, namun Kakek menderita kelelahan dan akhirnya meninggal dunia. Sampai setahun peringatan kematian Kakek, pohon kesemek masih tidak mau berbuah juga. 

Pohon kesemek adalah saksi hidup keluarga Yoichi. Masa kecil Kakek dilalui bersama pohon kesemek ini, sehingga Kakek sangat menyayangi sang pohon kesemek. Banyak peristiwa yang dilalui oleh keluarga Yoichi, pohon kesemek tetap berada di sana. 


Aku nggak tahu rasa buah kesemek, belum pernah nyicipin. Tapi saat baca gimana Paman Santaro sangat suka buah kesemek sampai Yoichi kerap menjadi kurir untuk mengantarkan buah kesemek untuk Paman Santaro, kayaknya emang enak pake banget xD 


Buku tipis berukuran mungil yang hanya terdiri atas 62 halaman ini merupakan buku sederhana yang menceritakan kisah manis, walau terselip juga cerita sedih, yaitu saat harus kehilangan Kakek. Ilustrasi buku yang manis ikut menguatkan kesederhanaan cerita ini. Cerita, ilustrasi, dan kemasan buku seolah-olah menuntun kita bahwa kita nggak perlu cerita tinggi dan rumit untuk sekadar menepi. Cerita sederhana seperti Rumah Pohon Kesemek mampu menghadirkan kehangatan di hati saat kita membutuhkannya. Buku ini termasuk bisa dibaca sekali duduk. Eh, tapi kayaknya pas aku baca ini dua hari, deh. Soalnya pas awal baca, aku ketiduran. Kan saat baca ini, aku lagi sakit dan dalam pengaruh obat. Dilanjutkan besok paginya, deh.. hihi...


Trivia:
Rumah Pohon Kesemek adalah karya klasik yang diterbitkan dua kali. Pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1944. Pada versi awal, pembaca bisa mengetahui tempat kejadian cerita ini ada di Pulau Shoudo, sebuah pulau kecil di Laut Pedalaman Seto, yang merupakan tanah kelahiran Sakae Tsuboi san. Kemudian terjadi Perang Dunia Kedua. Ketika perang usai, versi kedua Rumah Pohon Kesemek terbit pada tahun 1949. Namun pada versi kedua, penulis memutuskan untuk menghapus cerita yang berhubungan dengan ayahnya - yang juga menyinggung soal perang - seolah ingin menunjukkan bahwa perang sudah benar-benar usai. Dampaknya, pembaca jadi tidak tahu menahu tentang Pulau Shoodo, sebab edisi terjemahan ini adalah dari buku versi kedua, sesuai keinginan penulis. 

Ada sisi lain cerita tentang proses penerjemahan buku ini, ternyata di bahasa asli, karena terbitnya di tahun 1940-an, banyak umpatan-umpatan cukup kasar yang kurang nyaman untuk dibaca. Sehingga penerbit di Indonesia memutuskan untuk "menghaluskan" atau mencari kata-kata lain agar tidak terbaca seperti sumpah serapah. Iya, di tahun-tahun itu, ucapan makian itu lumrah ada di dalam cerita keluarga. Itu sebabnya, banyak karya klasik yang berulang kali diterjemahkan, kerap berubah nuansa penerjemahannya, disesuaikan dengan tren bahasa sesuai waktu diterbitkan ulang versi terjemahannya. 


That's enough for today. I know I couldn't reach 1667 words daily, like I used to write in those years when I entered NaNoWriMo. For now, I just want to enjoy what I wrote. hihi. Alasan. Bilang aja keberatan dengan target 50.000 kata sebulan..  xD

See you tomorrow! xoxo

    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tirimikisih udah ninggalin komen di sini... *\(^0^)/*