Judul: Memory and Destiny
Penulis: Yunisa KD
Editor: Hetih Rusli
Co Editor: Raya Fitrah
Foto sampul: Jose AS Reyes
Diterbitkan oleh: PT Gramedia Pustaka Utama
April, 2010
Jumlah halaman: 264 hlm, 18 cm
ISBN: 978-979-22-5658-1
Memory and Destiny. Kisah cinta dua dunia. Apakah teman khayalan itu benar-benar ada? Ataukah itu malaikat pelindung anak kecil?
Maroon Winata, calon dokter, yakin bahwa Donald-nya benar-benar ada. Sejak pertemuan pertama di Westminster Abbey, pada hari terakhir Maroon kecil di kota London, sampai Maroon di Jakarta dan berjuang menyesuaikan diri dari lidah bule ke bahasa ibunya, Donald adalah teman bermain dan belajar.
Maroon dan Donald dewasa bertemu, namun mereka belum menemukan tali penghubung memory masa lalu mereka. Nasib mempermainkan mereka. Lalu muncullah David yang tampan dan kaya. Lelaki itu percaya destiny telah mempertemukannya dengan Maroon. Memory dan destiny dalam hidup Maroon pada akhirnya menunjukkan bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya. (dari cover belakang)
Disclaimer: Postingan ini penuh spoiler. Kalo nggak suka, lebih baik ga usah dibaca aja. Kayaknya bukan review juga, sih. Lebih ke curhat pribadi?
Pertama: saya posting pandangan saya tentang buku ini, tepat di hari di mana BBI mengadakan #postingbareng dalam rangka Hari Kartini. Yes, saya menghormati mbak YKD sebagai perempuan, penulis perempuan, yang tentunya beliau paham banget, dong, siapa ibu Kartini. Mbak YKD masih orang Indonesia sejati, tentunya. Btw, selamat, ya, sudah menjadi ibu... :) #initulusloh
Kedua: saya tahu, saya sudah diperingatkan jangan membaca buku ini. Buang waktu. Ngabisin emosi dan lain-lain. Tapi, yah, saya orangnya emang nggak bisa dilarang. Semakin dilarang, saya semakin nekat mencoba. Dan saya menceburkan diri ke dalam lingkaran setan yang tak sengaja terbentuk, yaitu masuk ke dalam rantai pinjam meminjam buku legendaris milik seorang dokter baik hati yang unyu, idola saya. Habis saya, giliran siapa, bu Dokter?
Ketiga: saya mau berterima kasih pada mbak YKD. Karena mbak Yunisa lah, saya jadi kenal dengan bu dokter yang review-reviewnya kemudian selalu menjadi favorit saya. Sungguh, di balik hujatan-hujatan, karya mbak YKD telah mendekatkan saya dengan banyak pembaca di Indonesia ini. #terharu #pelukYKD
Keempat: saya mau memberi penghargaan kepada mbak YKD dengan memposting review curhatan saya di hari ini, sebagai penulis perempuan. Beneran, deh, Mbak, ini bukan hinaan. Karena mbak YKD-lah, saya jadi kenal banyak pembaca di Indonesia. Kami jadi bahu membahu. Kami jadi saling pengertian. Sungguh, jasamu akan selalu kukenang, karena telah membuat kami menjadi akrab. Semakin dekat. Ternyata, bukan UUD 45 atau Sumpah Pemuda 1928 yang membuat pembaca Indonesia bersatu. Melainkan Memory & Destiny karya Yunisa KD. *menjura*
Udah, ya, Mbak. Nggak usah banyak-banyak. Empat alasan udah lebih dari cukup. Saya nggak pernah nulis alasan-alasan kenapa saya mau baca buku di review saya. Terkheuseus mbak YKD aja, saya mau menuliskannya.
Terus terang, sebetulnya saya malu karena ketinggalan jaman. Orang-orang udah baca buku Obsesi dan De Javu, saya malah baru menyelesaikan Memory & Destiny. Ke mana ajaaa.... Yah.. gimana, ya, Mbak. Kecepatan baca saya tuh, bisa disamakan dengan kecepatan kura-kura kalo berjalan. Alon-alon asal kelakon. Padahal, pasang target baca tiap tahunnya, tuh. Memalukan, ya? Tapi gimana lagi. Saya ini ibu yang bekerja di luar rumah. Nyampe rumah, saya sibuk dengan anak-anak. Begitu anak-anak tidur, saya sibuk sama cucian. Atau kadang saya ikutan melungker karena udah kecapekan. Kebetulan, anak saya yang gede, sering tantrum. Jadi, yah, butuh energi gede-gedean buat menghadapinya. Capek lahir batin, sih. Tapi ya gapapa. Resiko jadi ibu :D Akibatnya cuma satu: ngaruh ke kecepatan baca saya yang semakin merayap seperti kura-kura.
Lalu, Mbak YKD akan bilang: "Apa? Anak udah gede dibiarin tantrum? Nggak didisiplinin? Harusnya, bisa, dong, mendidik anak supaya jadi anak super. Luar biasa. Seperti anakku kelak! Anakku akan kubentuk jadi anak super jenius. Pantang tuh, udah lebih dari umur 6 tahun masih tantrum! Anak seumuran itu, harus sudah les piano, aritmatika, kalo perlu, les programming, supaya bisa jadi hacker sebelum usianya 10 tahun! [murni halusinasi saya]
Saya akan ngeles begini, "Mbak, kebetulan, saya dianugerahi gifted child. Putra saya yang pertama termasuk berkebutuhan khusus. Dokter bilang sih, asperger. Sepintas, mirip sama autis. Cuma banyak bedanya. Saya nggak akan ceritain di sini karena butuh satu postingan sendiri buat bahas. Kalo mbak ada di posisi saya, mungkin bisa tahu rasanya lelah lahir batin tuh kayak apa. Jadi, mengajarinya toilet training pun mungkin sama susahnya dengan mengajari bahasa C++ buat anak SD."
STOP! Kenapa malah curhat di sini! #selfkeplak
Balik lagi! Saya nulis di sini kan buat mengemukakan pendapat saya mengenai buku MD... Ish... malah menuh-menuhin setengah halaman buat curhat... #toyorpeni
Oke... ini pendapat saya...
Err... sebelumnya, saya sependapat sama pepatah "curiosity could kill a cat". Cuma, setelah dengar lagu Jason Mraz - Mr. Curiosity, saya berubah pikiran. Di sana ada lirik begini...
Hey, Mr. Curiosity
Is it true what they've been saying about you
Well are you killing me?
You took care of the cat already
And for those who think it's heavy
Is it the truth or is it only gossip
Call it mystery or anything
Oh just as long as you call me
I sent the message on
did you get it when I left it
Said well this catastrophic event
It wasn't meant to mean no harm
But to think there's nothing wrong is a problem, oh
Well are you killing me?
You took care of the cat already
And for those who think it's heavy
Is it the truth or is it only gossip
Call it mystery or anything
Oh just as long as you call me
I sent the message on
did you get it when I left it
Said well this catastrophic event
It wasn't meant to mean no harm
But to think there's nothing wrong is a problem, oh
Jadi... sepertinya, saya yang dibuat penasaran merasa sedang disiksa oleh tulisanmu, Mbak. Apa, ya, yang membuat saya nekat menceburkan diri ke dalam lingkaran setan pertemanan ini? Mungkin karena saya banyak dilarang, makanya saya pengen melanggar. Mungkin, karena Mr. Curiosity tidak pernah membunuh kucing karena penasaran, jadinya saya yang tersiksa.
Mungkin, ya, kalo seandainya mbak YKD nggak pake tahun cerita ini berlangsung, semisal 2013 *yang mana saat buku ini terbit masih 3 tahun sebelumnya, kan*, saya akan menikmati aja. Misalnya, nih... Soalnya, untuk setting tahun 2013 yang ternyata udah high tech, biasanya orang-orang yang nulis cerita, katakanlah, bersetting tahun 2011 atau 2012 sekalipun, nyebut ada sosmed semacam Facebook, Twitter atau minimal ada lah disebut gadget gitu. iPhone, kek, blackberry kek. Karena terus terang, saya baca Twenties Girl aja yang dipublish tahun 2009 aja, udah ngomongin semacam blackberry, lho. Ini, kok? Asli nggak ada data yang mendukung kalo cerita sedang berlangsung di tahun 2013 :D
Misalnya, nih, ya.. sewaktu Maroon ketemu sama Donald nggak sengaja, di Westminster Abbey. Itu, lho, yang cuma ketemu beberapa menit itu. You name it as destiny, kan, mbak... Kalo saya, sih, ya, misalnya, ngerasa banget kalo Donald destiny saya, saya akan pake yang namanya engine search, lho, mbak. Googling nama Donald. Wait. Saya lupa nama belakang Donald, mbak. Tapi kayaknya kalo dia narsis dan senang ninggalin jejak, pasti ada deh, kalo gugling pake nama Donald, Westminster Abbey. Siapa tahu, dia punya akun Path yang disinkronkan ke Foursquare. Trus, dia check in gitu di Westminster Abbey, sambil nulis, "aku telah bertemu seseorang yang menjadi destiny-ku di tempat ini. Maroon. Rasanya aku pernah bertemu dengannya di masa lalu." [2010 udah ada 4sq, deh, Mbak. Dan mestinya, sih, si Donald kenal sama apps Path :P]
Intinya, ini saran saya, ya, Mbak, kalo mau bikin setting cerita bertahun-tahun ke depan, kayaknya mbak mesti bisa memperkirakan sekalian teknologi yang bakalan jadi makanan sehari-hari di tahun-tahun itu, Mbak. Kalo nggak bisa, mending ga usah pake setting tahun yang pasti sekalian. Asli, gengges.
Terus, untuk mbak YKD yang umurnya jauh lebih muda dari saya, saya agak bingung dengan pemakaian kata-kata mbak di novel ini. Bukan saya mau bandingin, ya, cuma nih, dibanding dengan penulis seniormu, katakanlah mbak Primadona Angela, pemilihan kata-kata yang Mbak ambil di novel ini, terlalu jadul. Terlalu puitis. Saya kayak time traveling ke masa-masa ibu saya dilahirkan, deh. Mungkin, saya berasa baca terjemahan Gone with The Wind. Sejadul itu? Iya, Mbak. Sayangnya begitu... :(
"Sudahlah, istriku, biarkan dia beristirahat." Si suami mencekal lengan istrinya yang masih mengguncang-guncang badan anak mereka. hal 23Udara menjelang musim panas sungguhlah menyegarkan. Kehangatan dari bola api sumber energi yang kaya akan vitamin D adalah suatu kenikmatan mewah bagi penduduk yang tinggal di negeri dingin. Tapi kini, matahari negara tropis yang sudah lama dirindukan oleh sepasang suami istri yang mulai lanjut usia ini muncul juga di negara adidaya empat musim. hal 55
"Oh, alangkah bahagianya gadis itu!" dia membatin. hal 91 --> seriously? jadul banjet! mungkin, kalo saya sih bakalan bilang, "asik bener, jadi tuh cewek." *grin*
Ada lagi yang gengges? Banyak! Contohnya, cuplikan halaman 55 barusan. Cerita tentang matahari aja bisa kayak begitu. Bola api, sumber vitamin D. Nah, di halaman awal pun udah aneh.
Sinar mentari pagi menerobos kamar dari celah terai jendela yang tidak tertutup rapat. Seorang pria di pertengahan dua puluhan, dengan rambut awut-awutan seperti singa, bangun karena merasa silau. Dia bersyukur kepada Tuhan atas sapaan sinar matahari yang kaya akan vitamin D telah membangunkannya pagi itu, di hari spesialnya, tepat dua menit sebelum jam beker berbunyi dan tepat tiga menit sebelum ibunya mengetuk pintu kamarnya. hal 7
Lalu, Mbak menyiksa saya dengan deskripsi mengenai seseorang yang terlalu dalam, mengacaukan imajinasi saya. Seperti...
Cantik. Wajahnya mulus berseri-seri, tidak berjerawat sama sekali. Matanya bulat, jernih dan bersinar seperti mata gadis kecil tokoh komik-komik Jepang. Alisnya yang hitam melengkung indah membingkai wajahnya yang rupawan. Meski tidak selancip bule tapi jelas hidungnya lebih mancung daripada kebanyakan orang-orang Asia Timur sampai Asia Tenggara. Saat dia tersenyum, geliginya yang putih berderet rapi menyembul dari bibir yang merah merekah dengan polesan lip gloss tipis. hal 59
Saat gadis itu menguraikan rambutnya yang hitam berkilau, yang kemudian dikucirnya lagi lebih tinggi membentuk sanggul berantakan, penampilannya semakin memesona. Jauh lebih memesona dari bintang iklan sampo. hal 59
Di hadapannya berdiri seorang pria Asia berusia 30-an, entah awal atau akhir - susah ditentukan karena kulitnya begitu mulus dan terawat, tanpa adanya tanda-tanda penuaan dini, apalagi tubuhnya terbilang jangkung, sekitar 185 cm. hal 59
Putra mereka, pria berusia akhir dua puluhan tampak keren dengan rambut jabrik ala Ricky Martin. Rahangnya kokoh dengan belahan dagu yang jarang dimiliki pria lain. Kulitnya tidak putih seperti cowok Jepang yang tidak pernah terkena matahari melainkan sawo matang yang membuatnya kelihatan jantan dan macho. Postur tubuhnya juga terluhat proporsional, tidak terlalu kurus seperti tren cowok Jepang masa sekarang yang tidak mau kalah dari gadis-gadis model yang cungkring. hal 87
Menjadikan novel ini semacam novel pengetahuan. Cuma entah kenapa, informasinya jadi nggak penting, Mbak. Kalo untuk urusan kedokteran, sudah dibahas secara gamblang oleh para dokter seperti bu dokter Dewi dan mbak Iyut. Kayaknya ke mereka aja, deh, analisis kesalahan medisnya. Kalo saya, terganggunya di antaranya... *menurut saya, Mbak bisa lebih hemat dan bijak pake kalimatnya*
... dengan menghadiri even-even semacam seminar yang berhubungan dengan pencernaan, hati, jantung, paru-paru, otak, dan organ-organ tubuh lainnya. hal 78
Tapi dinginnya embusan angin dari pendingin ruangan meningkatkan produksi pembuangan air dari kandung kemih. hal 79
Masih ada lagi, Mbak...
Kalimat-kalimat yang hiperbola kayak
Tapi sebelum kekuatan kosmis mengguncang keduanya dengan setruman yang dahsyat, gangguan datang." hal 61-62
"Karena aku menunggu destiny-ku."
Tawa Wiro pecah. "Oh, man! Aku tidak menyangka kalau di balik sikapmu yang dingin, kamu memiliki sisi yang romantis!" hal 65
*menunggu destiny = romantis?*
Baru segitu halaman aja, saya udah jambak-jambak rambut saya, Mbak. Trus, saya nggak sanggup nulisin lagi, tapi yang jelas, buku biru legendaris punya bu dokter Dewi yang pindah satu tangan ke tangan lain ini, penuh tempelan post it dari saya. Tadinya, saya berencana mindahin ke blog ini. Tapi apa daya, saya nggak mampu. Masih ada kerjaan lain yang menunggu. Buat nulis curhat ini aja udah seharian penuh, nih... #lebay. Cuma sebagai bukti, Mbak bisa lihat gambarnya sebagai berikut...
Itu pas persediaan stiker post it saya masih ada. Di 100 halaman terakhir, udah buru-buru aja, deh, Mbak, bacanya. Dan sayangnya, stiker post it saya keburu habis. Udah gitu, saya ga bisa nulis semuanya di sini pula #toyorpeni.
Belum lagi berkali-kali muncul statement kalo jadi dokter itu mesti pemberani, ga boleh penakut. Yah, kalo begitu memang adanya, pantesan aja, saya ga pernah lulus tes masuk FK Unpad. Karena saya sangat penakut, mbak...
Terus, ya, saya udah ga suka sama yang namanya Rhett Butler, jadi makin nggak suka karena ternyata dia ada versi Ken-nya di Barbie. Saya emang nggak suka dengan Barbie, jadi makin nggak suka karena ternyata muncul Ken versi Rhett Butler. Sori, ya, Rhett, buat saya tampan itu bukan kumis yang mentereng atau kelakuan flamboyan. Makin-makin sebel aja deh, gue ke elu, karena elu ternyata idola mama Maroon dalam bentuk boneka. -____-"
Trus, ada ketimpangan lagi, Mbak. Settingnya penuh dengan "nuansa" Inggris, Singapore, Jepang... tapi kok, ada pocong juga ya, ikutan muncul di sini. Cameo, kah? Mbak, saya nggak bisa berhenti ngakak, lho. Sumpah! Apakah pengen memunculkan Indonesia dengan tampilan pocong, mbak? Itu, lho, bagian Donald pas masih jadi hantu, eh, apa spirit, apa roh gentayangan sih? Kan ada tuh, dia bertarung lawan pocong? Epic, deh, Mbak! =))
Trus, trus.. itu... Donald teman bermain dan belajar. Setahu saya, itu bukan slogan Donald. Tapi Bobo #abaikan
Ditambah lagi pernyataan dari Mbak, bahwa untuk memahami novel ini, saya harus menonton atau menghayati Phantom of the Opera (okay, I admit it, mbak. Saya belum pernah tahu), kayaknya terlalu muluk. Saya pikir, kalo mbak tersepona sama Phantom, saya mestinya bisa merasakan keterseponaan itu, tanpa saya harus nonton Phantom of the Opera, kan? Gini, deh. Saya suka banget sama Kimura Takuya. Banget, mbak. Trus, saya suka banget perannya di film dorama Good Luck. Cara saya nularin ke orang-orang biar suka Good Luck, cuma ceritain sedikit aja. Kalo mereka nggak tertarik, ya ga masalah. Yang penting udah saya sampein, kerennya di mana. Atau ini, deh. One Litre of Tears. Saya cuma cerita sedikit, tapi orang-orang udah bisa ngebayangin sedihnya cerita itu. Sementara saya? Gagal ngebayangin kerennya Donald atau David, karena tandingannya Ken/Rhett Butler/Phantom. Lalu, mbak berusaha keras buat nampilin di sini, Donald atau David itu sangat ganteng, semisal Ken/Rhett Butler/Phantom. Sumpah, mbak, balik ke selera saya, saya mah doyannya Kimura Takuya... *jilatin screen iPin yang ada foto Kimutaku*
Satu hal lagi, ya, Mbak. Mungkin Mbak ga suka dengan gay. Sebetulnya, dulu ya, saya benci banget. Tapi akhirnya saya bikin pengecualian. Saya punya sahabat gay. Dan saya sayang setengah mati sama dia, Mbak. Dia itu menyenangkan. Saya selalu merindukannya kalo dia nggak ada kabarnya, Mbak. Dan dia pun sayang saya. Jadi, saya agak nggak terima, kalo Mbak bikin prejudice yang bikin Mbak sebenernya nggak paham, kalo gay itu sahabat cowok yang paling ngerti perempuan. Ini saya bicara serius, lho.
Saya nyerah, deh, Mbak. Saya memang nggak berotak prima. Otak saya teflon lengket. Saking lengketnya, serasa ada Donald sedang mengintip saya somewhere. Mungkin dia bergulat dengan pocong yang konon suka ada di kebun pisang dekat rumah ortu saya, jadi si pocong ga berani mampir ke rumah buat nakut-nakutin saya.
Cuma, bukan Peni namanya kalo dilarang nggak makin penasaran. Saya jadi penasaran dengan kelanjutan cerita ini, Mbak. Apakah ada mbak L di dalamnya? Tentu nggak, ya... Kalo mbak L tuh ada di novel mana, Mbak? Pengen tahu juga kisahnya di dalam cerita mbak...
Udah dulu, ya... saya kok mendadak tremor ini. Oh, udah siang. Udah waktunya makan siang. Semoga, saya dikasih kesempatan buat baca Obsesi dan De Javu, ya, Mbak... biar saya tahu, Olivia gedenya kayak apa. Destiny-nya dengan David-kah? Maaf, ya, saya emang kepo. Saya sekaligus menantikan novel tentang mbak L, lho. Sudah tayangkah? Kok saya nggak tahu kabarnya? Editornya dua jugakah? XD
Sekali lagi...
Terima kasih banyak buat jasa mbak YKD yang udah membuat saya kenal dengan banyak pembaca di Indonesia. Love you, Mbak! Mwah!
------------
Terlepas dari #postingbareng #BBI2013 dalam rangka #penulisperempuan, saya posting ini juga buat challenge Finding New Authors
plok-plok buat teh peni yang udah menulis panjaaaaaaang banger kayak coki2 #dikeplak
BalasHapusya ampun, mas tezar... nggak tamat baca reviewku, kan? XD
BalasHapusHuahahaha.....mbak L dibawa-bawa segala, teh. Tapi Salut liat post it mu, teh. Punyaku gak sebanyak itu
BalasHapusBtw kmrn Luna bilang dia mo pinjem bukunya. Entahlah jadi apa enggak.
Saya belum pernah baca novel ini, tapi entah sudah keberapa kalinya baca reviunya. Dan saya nggak pernah bosen baca reviu tentang novel ini, termasuk reviu Mbak Peni ini. Setuju deh, kalo YDK sudah menyatukan pembaca Indonesah. :D
BalasHapushahaha...pilihan yang tepat buat posting bareng :D rame lagi, ada donal, ada bobo, ada kakang rhett juga xixi, asli aq lagi ngantuk mbak, mendadak terbangun baca reviewnya ... and ganti template lagi nih (^_^)
BalasHapusaku tamat lho Mbak baca review-nya. *tepuk tangan bareng Mas Tezar* Jadi makin penasaran baca bukunya #eh
BalasHapuskali ini reviewnya bukan buat si kakak sama si adik ya bun, hihihi....
BalasHapus@Bu Dokter: nih, kayaknya Lulu mau daftar jadi peminjam *wink*
BalasHapus@Hobby buku: hahaha.. yang bener? bikin melekkah? iya, ini lengkap banget. Dan aku lupa bahas Maroon 5 di sini... >_<
@vaan: berminat jadi pengantri berikutnya? *wink*
@Lulu: *tepuk tangan buat Lulu* ma kasih, sampe tamat bacanya =))
Hem review yang unik, jadi pengen baca mbak
BalasHapusbuset, detail bgt reviewnya *standing ovation* *salute*
BalasHapusHoree... saya juga tamat baca reviewnya Mba Peni..
BalasHapusTapi jangan khawatir Mba, saya malah belum baca novel ini kok. Berarti saya yang paling ketinggalan.. :)
@mama Astrid: hahaha... iya... abisnya, kalo buat anak-anak, kesannya lagi ngomongin orang... padahal mah... :D
BalasHapus@danee: *bungkuk hormat*
@mama wilda: nyantei. nggak ada istilah terlambat buat baca MD #lho
apa kabar, mama wilda?
@lala: pastikan punya otak prima, ya, biar ga jambak rambut kayak saya... #eh
Ahahahhaaaaa....ampuuun dah buku bersejarah yang satu ini. Mau dibaca di blog siapapun yang ngereview buku ini, tetep kerasa lucunya. Biarpun yang nulis review ngaku nggak berbakat lawak sekalipun XD
BalasHapusBaru kali ini juga lihat buku sekecil itu ditempeli post it segitu banyak. XD
Lalu, ehmmm...Mbak...aku mau protes.
Aku selama ini cukup pede lho dan menganggap diri sendiri cukup cantik (ini bukan narsis lho beneran deh bukan). Ya mbak tahu kan, setiap wanita (ceileh) harus pede dengan dirinya sendiri. Kalo nggak membangun self esteem dari diri sendiri, dari siapa lagi loh? Tukang bangunan? #loh
Tapi begitu baca postingan mbak ini yang mengutip buku biru (btw biru itu warna favorit saya Mbak) yang bilang bahwa cewek cantik itu yang berkulit putih mulus, nggak berjerawat sama sekali, dan hidungnya mancung walau nggak lancip. Terus terang aku SAKIT HATI mbak!!! Soalnya setiap bulan pasti adaaa aja jerawat yang mampir di wajah aku. Jadii.... aku ini nggak cantik dong Mbak???
*kemudian akupun menangis tersedu-sedu meratapi hati yang hancur akibat dibilang tidak cantik ini* #maapikutlebay
Eh tunggu dulu, sewaktu kecil aku juga sering bertemu Donald. Dan aku setia banget di sisinya lho meskipun dia pemarah. Oh... apakah ini berarti Donald-lah destinyku???
*kemudian lari mengejar Donald*
"You hear that, Donald???? I AM your destiny, not that Daisy Duck!!!!"
Westminster Abbey??
BalasHapusAhahaahha, ini kah buku biru yang terkenal itu ?
eh aku tamat ko teh bacanya, swear! #digetokYKD
BalasHapusBeneran saya salut sama Teh Peni yang sanggup menyelesaikan buku ini.Saya pernah baca buku serial Amore lainnya, dan saya hanya ngasih bintang 1. Dengan baca review ini, saya jadi mempertimbangkan beberapa kali untuk baca Amore yang lainnya.
BalasHapusAmore yang pertama? oke lah, gak bagus amat tapi ga se-ngenes amore yang ini.
BalasHapusaku udah baca sih buku biru ini sebelum heboh di GR. udah biasa aja. banyak kok HQ yang rada ga nyambung juga kayak gini jd biasa aja.
Tapi begitu baca perang di GR, aku selalu menunggu ripiu yang menarik dari para pembaca Indonesia yang berotak teflon
*pinjem satu dong teflonnya, punyaku dah rusak neh....