Tampilkan postingan dengan label 1 star. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 1 star. Tampilkan semua postingan

7 Mei 2014

Kisahku Bersama Sepotong Kata Maaf


Judul: Sepotong Kata Maaf
Penulis: Yunisa KD
Editor: Anin Patrajuangga
Desainer Cover: Steffi
Penata isi: Phiy
Diterbitkan oleh PT Grasindo
Cetakan pertama 2013
Jumlah halaman: 304 hal
Genre: Novel, Fiksi Kontemporer, Time travel, Woman, Semi-thriller
ISBN: 978-602-251-132-8
Status: Punya. Beli di Hobby Buku Online Bookshop
Harga: IDR 53,000


Blurb:
Ini adalah kisah nyata seorang gadis yang menolak untuk meminta maaf meskipun telah berulang kali diajukan permintaan resmi agar ia melakukannya. Dia meninggal 7 kali oleh pena seorang novelis. Itulah cara ringan untuk merangkum cerita ini.

Dalam dimensi yang berbeda, hidup memang seperti persamaan Matematika: ada berbagai variabel dan konstanta. Kematian seorang gadis bermoto "Maaf tampaknya adalah kata tersulit", itulah sang konstanta.

Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...
Kelar juga baca buku ini setelah mandek lama. Hehe...



Sama penulisnya, buku ini digadang sebagai buku yang berdasarkan kisah nyata, pengalaman penulisnya sendiri. Konon, sneak peek-nya sering beredar di fanpage penulis. Cuma Bunda nggak ngikutin, sih, jadi ga begitu tau. Takutnya, kalo Bunda terlalu tahu cerita hidup penulis, Bunda nggak netral lagi dalam mereview bukunya. Bunda nggak tertarik dengan kehidupan pribadi penulis, makanya nggak follow twitternya maupun gabung di fanpagenya. Dengan begitu, Bunda bisa baca novel yang ini ya apa adanya yang tertuang di sini aja. Walaupun dibilang berdasarkan kisah nyata.

Jadi? Sepotong Kata Maaf ceritanya tentang apa?

Ceritanya bermula dari kekesalan Dewi yang pada saat acara ROM (penandatanganan perjanjian pernikahan) mesti menyaksikan suaminya, Jeremy Subroto, berfoto dengan sahabatnya, Lisa Hisman ~yang kemudian diberi julukan "ganjen"~ tanpa mempelai perempuan. Yang menambah kekesalan Dewi adalah posisi Lisa yang teramat dekat dengan Jeremy yang hanya tersisa sedikit aja ruang sehingga mereka nyaris nempel. Jeremy yang menganggap Lisa adalah sahabatnya, tentu nggak ngeh dengan kekesalan Dewi. Menurut Jeremy, ini wajar aja, karena mereka bersahabat. Sementara menurut Dewi, keluarga Dewi dan teman-teman Dewi, pose foto berdua seperti itu, tanpa mempelai wanita juga, bikin geger dan geram.

Dari situ, cerita berkembang ke berbagai alternatif kematian Lisa Hisman di dimensi yang berbeda. Gimana cara? Pake mesin waktu, dong...

Di cerita awal, Lisa dan Armand akan melangsungkan pernikahan, tapi gereja tempat mereka menikah dibom. Kemudian, Jeremy yang jenius itu, masuk ke mesin waktu ciptaannya untuk mencegah pengeboman terjadi, karena niatnya sih, menyelamatkan orang lain yang ga bersalah. Kalo Lisa doang yang mati ya biar aja. Kurang lebih gitu. Maka dimulailah kisah petualangan Jeremy Subroto melintasi berbagai dimensi lewat mesin waktu yang ternyata nyasar melulu. Yang jelas, ini bikin penulis leluasa membunuh Lisa Hisman di berbagai dimensi waktu dengan berbagai alternatif cara kematian :D

Kabarnya, sih, ini emang kisah nyata penulis pada saat dia dan suaminya meresmikan pernikahan mereka. Jadi, anggaplah, ini novel balas dendam buat mbak Lisa (nama sebenarnya) yang sudah membuat penulis murka.

Sebetulnya, ide time travel itu udah nggak aneh, sih. Jadi ya nggak ada yang istimewa banget dari novel ini. Yang jelas, sih, aura dendamnya nyampe banget ke pembaca. Kelewatan aja, sih, menurut Bunda... Dengan kata lain: lebay banget dendam kesumatnya.

Beberapa catatan yang sempet Bunda simpan tentang buku ini, ya...

1. Kalo dari sisi ide, terus terang Bunda nggak suka, apalagi "inspired from true story". Karena penulis memang berniat membunuh seorang Lisa Hisman di dalam novelnya sampai tujuh kali. Well, oke. Merasa kesal, benci karena seseorang telah "melukai" perasaan kita tuh wajar. Tapi, jauh lebih baik memaafkan duluan daripada "mengemis" permintaan maaf dari orang lain dan ketika permohonan maaf nggak kunjung datang, lalu memutuskan "membunuh" orang yang dibenci (meski) dalam bentuk cerita fiksi dalam berbagai alternatif itu cuma membuat penulis terlihat sama sekali nggak bermartabat. Sorry to say.

2. Bunda juga pernah merasa cemburu atau kesal sama orang. Tapi, Bunda percaya, memaafkan lebih dulu itu lebih bikin legowo dan nggak kepikiran, kok. Hidup jadi tenang dan nggak penuh dendam. Tips dari Bunda, daripada membenci seseorang lebih baik mengabaikan orang yang (tadinya) kita benci aja. Lebih enak dan ga musingin ke kitanya. Beneran, deh! Cobain aja. Ignorance is bliss :D

3. Dari sisi penceritaan. Hmm.. nggak ada yang berubah, sih, dibanding buku biru legendaris penulis. Apalagi kalo yang dimaksud dengan karakter Dewi di sini adalah penulis itu sendiri. Aura narsisnya udah over dosis, jauh melampaui narsisaurus syndrome-nya Gilderoy Lockhart. Bayangin narsisnya si Gilderoy Lockhart aja udah bikin muak, maka kalo ada orang lain yang narsisnya melampaui beliau, silakan takar sendiri standar kemuakan kalian.

4. Deskripsi karakter utama yang terus menerus diulang, bikin 300 halaman buku terasa seperti pemborosan. Karena, kayaknya kalo bisa dilangsingin, 150 halaman juga kelar. Bunda coba bandingkan cara penulis lain yang bukunya Bunda baca dan beberapa udah Bunda review di antaranya, rata-rata mereka nggak saklek mendeskripsikan karakter utama mereka kayak gimana. Ngalir aja di cerita, tapi kita sebagai pembaca, bisa langsung ngebayangin dan punya imajinasi sendiri mengenai karakter di cerita itu. Nggak rusak oleh deskripsi yang bener-bener text book dari penulis.

Sebagai contoh, semua pembaca serial Harry Potter pasti tahu gimana cerdasnya Hermione Ginger tanpa perlu disebutin berkali-kali kalo Hermione itu pinter, genius, penghafal cepat dan pelahap buku. Semua muncul lewat dialog-dialog yang cerdas dan ide-ide yang dicetuskan Hermione ketika mereka menghadapi masalah.

Atau, karakter Amal di buku Does My Head Look Big in This? Meski nggak disebutin segimana cantik, cerdas, penuh sopan santun dan punya kebaikan hati yang luar biasanya Amal, kita bisa tahu gitu aja (atau minimal ngebayangin, deh) melalui semua dialog dan ceritanya.

Masih banyak deh yang lainnya. Termasuk gimana kita bisa ngebayangin gantengnya Christian Grey di FSOG. Ga perlu deskripsi lengkap banget yang bakalan menghancurkan imajinasi pembaca.
Sementara di buku ini, penulis kek pengen ngasi tau pembacanya berulang-ulang, kalo Dewi itu cantik, sempurna, punya buah dada yang menggemaskan, pintar, kaya, tahu sopan santun, punya tata krama dan seterusnya.

5. Sebentar. Tadi Bunda bilang, berkali-kali disebutin Dewi itu cantik, sempurna, punya buah dada yang menggemaskan, pintar, kaya, tahu sopan santun, punya tata krama dan seterusnya, kan? Nah. Kalo iya, tahu sopan santun, punya tata krama, ini ada sesuatu yang bikin Bunda agak sakit kepala.
Dewi ini berkali-kali mengomeli suaminya dengan kata-kata, "kamu ini goblok atau goblok, sih, Mi?" Kalo seorang Dewi adalah seperti yang disebutkan berulang-ulang di atas, lalu bisa nyebut suaminya goblok berulang-ulang setiap dia merasa kesal pada suaminya yang kurang peka sama perasaannya, terutama terhadap kekesalannya pada Lisa Hisman, lalu gimana dengan perilaku orang yang nggak punya tata krama dan sopan santun, ya? *headspin*

6. Penulis berusaha keras banget buat terlihat kalo dia banyak banget pengetahuannya dengan memasukkan berbagai quote yang kadang nggak nyambung dengan konteks cerita. Trus, udah gitu, seakan-akan pengen bilang, bahwa pembacanya bodoh ga sepintar dia, ditulislah dua bahasa itu quote. Too much information, I guess.

7. Mengenai kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" yang oleh penulis disebut sebagai common phrase di Indonesia, rasanya Bunda harus luruskan dulu. Semoga ini memang karena ketidak tahuan penulis. Masukan Bunda buat penulis adalah penulis mau berteman dengan orang-orang penganut agama Islam, jadi bisa diskusi, minimal nanya-nanya, terutama yang berkaitan dengan doa.

Kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" adalah kalimat yang harus diucapkan (umat Muslim) ketika mendengar ada orang lain mendapat musibah atau dirinya sendiri mengalami musibah. Arti dari kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" adalah "to Allah we belong and to Allah we will return/kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah."


Bolehlah sebut ini novel fiksi. Biarpun ini fiksi, menurut Bunda, sefiksi-fiksinya fiksi, tetep aja kalo ada informasi yang akurat tetep ga boleh dibelokin. Bunda banyak belajar dari komik atau novel. Jadi, sebaiknya emang informasi sepenting itu masuk sebagai bahan informasi buat pembaca, walau pun ceritanya fiktif. Kan penulisnya katanya pinter banget. Pasti risetnya udah dalem banget, dong, ya...

8. Bunda masih nggak habis pikir, kenapa Dewi bisa sedendam ini sampai "ngemis" dan melakukan berbagai cara supaya Lisa Hisman minta maaf. Kalo Lisa-nya nggak ngerasa berbuat salah, ya udahlah. Biarin aja. Tapi kalo sampai dibunuh dengan berbagai variasi, mending bikin novel thriller dengan judul "Tujuh Alternatif Pembunuhan Lisa Hisman", bukannya "Sepotong Kata Maaf".

9. Untuk ide masuk ke berbagai dimensi, okelah. Bolehlah. Tapi, kenapa hampir di semua dimensi yang bukan dimensi sebenarnya itu, Roger Gunawan muncul sebagai suami Dewi? Kok, kesannya, Dewi nyesel nikah sama Jeremy Subroto, ya? Kesannya, penulis pengen banget menikah dengan Roger Gunawan - if he is existing in this world. Atau emang ada orangnya? Soalnya dengan nulis nama semua karakter mirip dengan aslinya, apa itu nggak menyinggung perasaan suaminya? Sebelum menikah sampai sekarang, Bunda selalu dinasihati untuk menjaga perasaan suami, bertutur kata yang baik pada suami. Lah ini? Suami digoblok-goblok. Semoga kalian berdua kelak dapat istri yang selalu memuliakan suaminya. Aamiin. Biar pun Dewi secantik bidadari, kalo kata-katanya bau begitu... errrr... masih bisa disebut cantik dan sempurna?

10. Masih bingung dengan pola pikir Jeremy mau pun Roger sebagai laki-laki di dalam cerita ini. Gimana, ya. Boleh, deh, Bunda disebut ganjen atau genit karena mayoritas teman Bunda adalah laki-laki. Tapi keuntungan dari punya banyak teman laki-laki adalah: Bunda memahami cara berpikir mereka yang sama sekali beda banget dengan cara berpikir cewek. Tapi di cerita ini, cara berpikir semua orang di karakter, kecuali Lisa Hisman tentunya, sama banget dengan cara berpikir Dewi, termasuk cara berpikir para pria yang pro ke Dewi semuanya. Bunda sih, percaya dengan peribahasa Indonesia yang bilang, "lain ladang, lain belalang. lain lubuk lain ikannya." Jadi, beda orang ya beda isi kepalanya. Mau punya pengalaman yang sama persis plek kek apa pun, tetep aja pasti ada perbedaan pendapat dan cara berpikir. Apa lagi kalo makhluk bernama cowok itu datengnya dari Mars dan cewek itu datengnya dari Venus. Dua planet yang berbeda, kan? *apa maksudnya, coba?*

11. Salut sama pemakaian kata "menyeleweng" (sounds jadul, tuwek banget) sementara kebanyakan orang sekarang nulis kata "selingkuh" :D

12. Di akhir buku, sih, akhirnya Dewi bilang ke Jeremy nggak usah berusaha memperbaiki keadaan. Intinya, dia udah nerima gimana "keukeuhnya" Lisa yang nggak merasa bersalah berikut permohonan maaf yang ga kunjung dateng. Tapi, tetep aja, Lisa-nya dibikin mati yang otomatis nggak jadi menikah dengan Armand. Cuma agak bingung juga, di dimensi ke-7 tuh maksudnya Jeremy pulang ke dimensi asal apa gimana, sih? Soalnya kalo pulang, mestinya ga ke dimensi ke-7, dong? Apa ini maksudnya Jeremy dateng ke Jeremy di dimensi lain? Blunder :D

Tapi kesan yang ditinggalkan di akhir dimensi ini ditutup dengan manis banget, menunjukkan Dewi yang nggak mau memusingkan perkara Lisa lagi, yang udah lalu biarlah berlalu. Meski tetep, Lisa dibuat mati di sini, plus, dipermalukan (dikasih nama Tante Ganjen) di depan anak-anaknya yang sudah besar dengan alasan sebagai contoh. Kalo suatu saat Bunda mau nasihatin kalian mengenai memilih perempuan yang baik, Bunda nggak akan buka aib orang lain. Bunda akan kasih case aja, nggak perlu memperlihatkan foto-foto kenangan buruk yang tersimpan berabad-abad. Itu sama aja dengan menyimpan dendam dan mewariskan dendam pada anak-anak Bunda. Never. Bunda pun nggak pernah akan ngasih tau kalian kalo semisal Bunda punya orang yang Bunda benci. Karena rasa benci itu menular.

13. Sekarang, kira-kira di antara kumpulan kata ini:

pintar ramah goblok cantik kaya sopan goblok santun goblok cemerlang genius goblok tampan cerdas goblok lintas waktu goblok miliarder sempurna goblok tinggi menjulang goblok

sensasi apa yang kalian dapatkan saat baca kumpulan kata di atas? Kata apa yang bakalan paling nempel di kepala kalian saat membacanya? Kurang lebih, seperti itulah sensasi saat membaca novel ini.

14. Apakah review Bunda ini negatif? Hmm... terus terang, ya, suka heran kenapa review yang sifatnya mengkritik itu, kok, sama penulis dibilang review negatif dan yang nge-reviewnya dianggap haters? Karena Bunda bukan hater penulis, meski bukan juga fans berat penulis, Bunda benci kalo seandainya penulis sempat baca review Bunda ini langsung ngecap Bunda termasuk haters-nya. Daripada membenci orang, Bunda lebih suka mengabaikan orang. Membenci itu menguras energi. Keingetan terus dan bahkan malah jadi kenal lebih banyak, jauh lebih banyak dari porsi semestinya ketika membenci orang. Makanya, Bunda memilih mengabaikan ketika Bunda nggak suka sama orang lain. Jadi, energi Bunda ga perlu habis mikirin orang itu. Mending mikirin yang indah-indah aja dan menikmati semua yang indah daripada hidup penuh kebencian. Capek, bow...

Bunda nggak pernah bermaksud menulis review negatif. Dan ga pernah mendaftarkan diri jadi haters fanatiknya. Tapi apa yang Bunda tulis di atas hanya catatan Bunda mengenai apa yang udah Bunda baca aja dan cukup ngeganjel. Gitu aja, sih. Bunda tipe orang yang kalo suka akan bilang suka, kalo ga suka ya bilang ga suka. Titik. Yang jelas, Bunda baca dari awal sampai habis, bukan untuk menyerang penulisnya. Emang murni pengen baca. Titik.

Penulis yang baik akan nerima review sepedas apa pun dari pembacanya dan ga ngecap, "cuma pembaca". Jadi pembaca itu repot juga, kok. Bunda ngemodal buat beli buku ini. Pake ongkos kirim. Sampulnya beli juga. Bacanya makan waktu juga, karena perlu mood bener-bener baik biar ga marah-marah saat baca buku ini, karena seperti penulisnya bilang di blognya, "Orang yang baru pertama kali baca novelku bilang mereka suka banget, bukunya mudah dibaca, bisa merasakan emosi, bisa tertawa dan misuh-misuh saat membaca." Jujurly, kalimat yang Bunda tebalkan benar adanya. Bunda bisa tertawa dan misuh-misuh saat membaca, kok. Hihihi. Misuh-misuhnya bukan karena gemas pada Lisa atau Jeremy melainkan oleh pola pikir penulis. Tertawa karena apa, ya? Menertawakan kenarsisan penulis, mungkin? :D

15. Bunda nggak akan bertanya-tanya kenapa buku ini bisa ikut terpilih untuk diterbitkan di lomba Grasindo - Publisher Seeking Author (PSA) dari 630 naskah yang masuk. Bunda juga nggak akan mempertanyakan kriteria panitia. Tapi kalo naskah kayak gini bisa lolos, gimana dengan naskah yang ga lolos, ya?

16. Agak bingung dengan blurb-nya. Kok nggak nyambung sama keseluruhan cerita.
 





All in all, ma kasih buat penulis yang sudah meramaikan kancah pernovelan Indonesia. Termasuk segala kehebohan yang pernah ditimbulkan. Belajar dari novel ini, memaafkan itu jauh lebih simpel dan mulia ketimbang berharap orang lain menyadari kesalahannya pada kita sampai membuat kita berkali-kali memberi teguran supaya yang bersangkutan minta maaf (apalagi pake cara formal banget) bahkan sampe pengen membunuhnya sebanyak tujuh kali, meski itu hanya di dalam imajinasi. Heuheu... Demikianlah kisah Bunda bersama Sepotong Kata Maaf.

Pesan Bunda, sih, simpel aja. Kalo orang lain yang bersalah ke kita ga mau minta maaf, maafin aja duluan. Pahalanya lebih gede, kok, insya Allah. Daripada dendam sampe pengen matiin. Duh, kayak orang nggak bermartabat aja...

Love you both... Cheers...








Terusin baca - Kisahku Bersama Sepotong Kata Maaf

29 Apr 2013

[posting bareng] Memory and Destiny


Judul: Memory and Destiny
Penulis: Yunisa KD
Editor: Hetih Rusli
Co Editor: Raya Fitrah
Foto sampul: Jose AS Reyes
Diterbitkan oleh: PT Gramedia Pustaka Utama
April, 2010
Jumlah halaman: 264 hlm, 18 cm
ISBN: 978-979-22-5658-1


Memory and Destiny. Kisah cinta dua dunia. Apakah teman khayalan itu benar-benar ada? Ataukah itu malaikat pelindung anak kecil?

Maroon Winata, calon dokter, yakin bahwa Donald-nya benar-benar ada. Sejak pertemuan pertama di Westminster Abbey, pada hari terakhir Maroon kecil di kota London, sampai Maroon di Jakarta dan berjuang menyesuaikan diri dari lidah bule ke bahasa ibunya, Donald adalah teman bermain dan belajar.

Maroon dan Donald dewasa bertemu, namun mereka belum menemukan tali penghubung memory masa lalu mereka. Nasib mempermainkan mereka. Lalu muncullah David yang tampan dan kaya. Lelaki itu percaya destiny telah mempertemukannya dengan Maroon. Memory dan destiny dalam hidup Maroon pada akhirnya menunjukkan bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya. (dari cover belakang)


Disclaimer: Postingan ini penuh spoiler. Kalo nggak suka, lebih baik ga usah dibaca aja. Kayaknya bukan review juga, sih. Lebih ke curhat pribadi?

Pertama: saya posting pandangan saya tentang buku ini, tepat di hari di mana BBI mengadakan #postingbareng dalam rangka Hari Kartini. Yes, saya menghormati mbak YKD sebagai perempuan, penulis perempuan, yang tentunya beliau paham banget, dong, siapa ibu Kartini. Mbak YKD masih orang Indonesia sejati, tentunya. Btw, selamat, ya, sudah menjadi ibu... :) #initulusloh

Kedua: saya tahu, saya sudah diperingatkan jangan membaca buku ini. Buang waktu. Ngabisin emosi dan lain-lain. Tapi, yah, saya orangnya emang nggak bisa dilarang. Semakin dilarang, saya semakin nekat mencoba. Dan saya menceburkan diri ke dalam lingkaran setan yang tak sengaja terbentuk, yaitu masuk ke dalam rantai pinjam meminjam buku legendaris milik seorang dokter baik hati yang unyu, idola saya. Habis saya, giliran siapa, bu Dokter?

Ketiga: saya mau berterima kasih pada mbak YKD. Karena mbak Yunisa lah, saya jadi kenal dengan bu dokter yang review-reviewnya kemudian selalu menjadi favorit saya. Sungguh, di balik hujatan-hujatan, karya mbak YKD telah mendekatkan saya dengan banyak pembaca di Indonesia ini. #terharu #pelukYKD

Keempat: saya mau memberi penghargaan kepada mbak YKD dengan memposting review curhatan saya di hari ini, sebagai penulis perempuan. Beneran, deh, Mbak, ini bukan hinaan. Karena mbak YKD-lah, saya jadi kenal banyak pembaca di Indonesia. Kami jadi bahu membahu. Kami jadi saling pengertian. Sungguh, jasamu akan selalu kukenang, karena telah membuat kami menjadi akrab. Semakin dekat. Ternyata, bukan UUD 45 atau Sumpah Pemuda 1928 yang membuat pembaca Indonesia bersatu. Melainkan Memory & Destiny karya Yunisa KD. *menjura*

Udah, ya, Mbak. Nggak usah banyak-banyak. Empat alasan udah lebih dari cukup. Saya nggak pernah nulis alasan-alasan kenapa saya mau baca buku di review saya. Terkheuseus mbak YKD aja, saya mau menuliskannya. 

Terus terang, sebetulnya saya malu karena ketinggalan jaman. Orang-orang udah baca buku Obsesi dan De Javu, saya malah baru menyelesaikan Memory & Destiny. Ke mana ajaaa.... Yah.. gimana, ya, Mbak. Kecepatan baca saya tuh, bisa disamakan dengan kecepatan kura-kura kalo berjalan. Alon-alon asal kelakon. Padahal, pasang target baca tiap tahunnya, tuh. Memalukan, ya? Tapi gimana lagi. Saya ini ibu yang bekerja di luar rumah. Nyampe rumah, saya sibuk dengan anak-anak. Begitu anak-anak tidur, saya sibuk sama cucian. Atau kadang saya ikutan melungker karena udah kecapekan. Kebetulan, anak saya yang gede, sering tantrum. Jadi, yah, butuh energi gede-gedean buat menghadapinya. Capek lahir batin, sih. Tapi ya gapapa. Resiko jadi ibu :D Akibatnya cuma satu: ngaruh ke kecepatan baca saya yang semakin merayap seperti kura-kura.

Lalu, Mbak YKD akan bilang: "Apa? Anak udah gede dibiarin tantrum? Nggak didisiplinin? Harusnya, bisa, dong, mendidik anak supaya jadi anak super. Luar biasa. Seperti anakku kelak! Anakku akan kubentuk jadi anak super jenius. Pantang tuh, udah lebih dari umur 6 tahun masih tantrum! Anak seumuran itu, harus sudah les piano, aritmatika, kalo perlu, les programming, supaya bisa jadi hacker sebelum usianya 10 tahun! [murni halusinasi saya]

Saya akan ngeles begini, "Mbak, kebetulan, saya dianugerahi gifted child. Putra saya yang pertama termasuk berkebutuhan khusus. Dokter bilang sih, asperger. Sepintas, mirip sama autis. Cuma banyak bedanya. Saya nggak akan ceritain di sini karena butuh satu postingan sendiri buat bahas. Kalo mbak ada di posisi saya, mungkin bisa tahu rasanya lelah lahir batin tuh kayak apa. Jadi, mengajarinya toilet training pun mungkin sama susahnya dengan mengajari bahasa C++ buat anak SD."

STOP! Kenapa malah curhat di sini! #selfkeplak

Balik lagi! Saya nulis di sini kan buat mengemukakan pendapat saya mengenai buku MD... Ish... malah menuh-menuhin setengah halaman buat curhat... #toyorpeni

Oke... ini pendapat saya...

Err... sebelumnya, saya sependapat sama pepatah "curiosity could kill a cat". Cuma, setelah dengar lagu Jason Mraz - Mr. Curiosity, saya berubah pikiran. Di sana ada lirik begini...

Hey, Mr. Curiosity
Is it true what they've been saying about you
Well are you killing me?
You took care of the cat already
And for those who think it's heavy
Is it the truth or is it only gossip
Call it mystery or anything
Oh just as long as you call me
I sent the message on
did you get it when I left it
Said well this catastrophic event
It wasn't meant to mean no harm
But to think there's nothing wrong is a problem, oh

Jadi... sepertinya, saya yang dibuat penasaran merasa sedang disiksa oleh tulisanmu, Mbak. Apa, ya, yang membuat saya nekat menceburkan diri ke dalam lingkaran setan pertemanan ini? Mungkin karena saya banyak dilarang, makanya saya pengen melanggar. Mungkin, karena Mr. Curiosity tidak pernah membunuh kucing karena penasaran, jadinya saya yang tersiksa. 

Mungkin, ya, kalo seandainya mbak YKD nggak pake tahun cerita ini berlangsung, semisal 2013 *yang mana saat buku ini terbit masih 3 tahun sebelumnya, kan*, saya akan menikmati aja. Misalnya, nih... Soalnya, untuk setting tahun 2013 yang ternyata udah high tech, biasanya orang-orang yang nulis cerita, katakanlah, bersetting tahun 2011 atau 2012 sekalipun, nyebut ada sosmed semacam Facebook, Twitter atau minimal ada lah disebut gadget gitu. iPhone, kek, blackberry kek. Karena terus terang, saya baca Twenties Girl aja yang dipublish tahun 2009 aja, udah ngomongin semacam blackberry, lho. Ini, kok? Asli nggak ada data yang mendukung kalo cerita sedang berlangsung di tahun 2013 :D

Misalnya, nih, ya.. sewaktu Maroon ketemu sama Donald nggak sengaja, di Westminster Abbey. Itu, lho, yang cuma ketemu beberapa menit itu. You name it as destiny, kan, mbak... Kalo saya, sih, ya, misalnya, ngerasa banget kalo Donald destiny saya, saya akan pake yang namanya engine search, lho, mbak. Googling nama Donald. Wait. Saya lupa nama belakang Donald, mbak. Tapi kayaknya kalo dia narsis dan senang ninggalin jejak, pasti ada deh, kalo gugling pake nama Donald, Westminster Abbey. Siapa tahu, dia punya akun Path yang disinkronkan ke Foursquare. Trus, dia check in gitu di Westminster Abbey, sambil nulis, "aku telah bertemu seseorang yang menjadi destiny-ku di tempat ini. Maroon. Rasanya aku pernah bertemu dengannya di masa lalu." [2010 udah ada 4sq, deh, Mbak. Dan mestinya, sih, si Donald kenal sama apps Path :P]


Intinya, ini saran saya, ya, Mbak, kalo mau bikin setting cerita bertahun-tahun ke depan, kayaknya mbak mesti bisa memperkirakan sekalian teknologi yang bakalan jadi makanan sehari-hari di tahun-tahun itu, Mbak. Kalo nggak bisa, mending ga usah pake setting tahun yang pasti sekalian. Asli, gengges.

Terus, untuk mbak YKD yang umurnya jauh lebih muda dari saya, saya agak bingung dengan pemakaian kata-kata mbak di novel ini. Bukan saya mau bandingin, ya, cuma nih, dibanding dengan penulis seniormu, katakanlah mbak Primadona Angela, pemilihan kata-kata yang Mbak ambil di novel ini, terlalu jadul. Terlalu puitis. Saya kayak time traveling ke masa-masa ibu saya dilahirkan, deh. Mungkin, saya berasa baca terjemahan Gone with The Wind. Sejadul itu? Iya, Mbak. Sayangnya begitu... :(

"Sudahlah, istriku, biarkan dia beristirahat." Si suami mencekal lengan istrinya yang masih mengguncang-guncang badan anak mereka. hal 23

Udara menjelang musim panas sungguhlah menyegarkan. Kehangatan dari bola api sumber energi yang kaya akan vitamin D adalah suatu kenikmatan mewah bagi penduduk yang tinggal di negeri dingin. Tapi kini, matahari negara tropis yang sudah lama dirindukan oleh sepasang suami istri yang mulai lanjut usia ini muncul juga di negara adidaya empat musim. hal 55
"Oh, alangkah bahagianya gadis itu!" dia membatin. hal 91 --> seriously? jadul banjet! mungkin, kalo saya sih bakalan bilang, "asik bener, jadi tuh cewek." *grin*
Ada lagi yang gengges? Banyak! Contohnya, cuplikan halaman 55 barusan. Cerita tentang matahari aja bisa kayak begitu. Bola api, sumber vitamin D. Nah, di halaman awal pun udah aneh.
Sinar mentari pagi menerobos kamar dari celah terai jendela yang tidak tertutup rapat. Seorang pria di pertengahan dua puluhan, dengan rambut awut-awutan seperti singa, bangun karena merasa silau. Dia bersyukur kepada Tuhan atas sapaan sinar matahari yang kaya akan vitamin D telah membangunkannya pagi itu, di hari spesialnya, tepat dua menit sebelum jam beker berbunyi dan tepat tiga menit sebelum ibunya mengetuk pintu kamarnya. hal 7

Lalu, Mbak menyiksa saya dengan deskripsi mengenai seseorang yang terlalu dalam, mengacaukan imajinasi saya. Seperti...

Cantik. Wajahnya mulus berseri-seri, tidak berjerawat sama sekali. Matanya bulat, jernih dan bersinar seperti mata gadis kecil tokoh komik-komik Jepang. Alisnya yang hitam melengkung indah membingkai wajahnya yang rupawan. Meski tidak selancip bule tapi jelas hidungnya lebih mancung daripada kebanyakan orang-orang Asia Timur sampai Asia Tenggara. Saat dia tersenyum, geliginya yang putih berderet rapi menyembul dari bibir yang merah merekah dengan polesan lip gloss tipis. hal 59

Saat gadis itu menguraikan rambutnya yang hitam berkilau, yang kemudian dikucirnya lagi lebih tinggi membentuk sanggul berantakan, penampilannya semakin memesona. Jauh lebih memesona dari bintang iklan sampo. hal 59

Di hadapannya berdiri seorang pria Asia berusia 30-an, entah awal atau akhir - susah ditentukan karena kulitnya begitu mulus dan terawat, tanpa adanya tanda-tanda penuaan dini, apalagi tubuhnya terbilang jangkung, sekitar 185 cm. hal 59
Putra mereka, pria berusia akhir dua puluhan tampak keren dengan rambut jabrik ala Ricky Martin. Rahangnya kokoh dengan belahan dagu yang jarang dimiliki pria lain. Kulitnya tidak putih seperti cowok Jepang yang tidak pernah terkena matahari melainkan sawo matang yang membuatnya kelihatan jantan dan macho. Postur tubuhnya juga terluhat proporsional, tidak terlalu kurus seperti tren cowok Jepang masa sekarang yang tidak mau kalah dari gadis-gadis model yang cungkring. hal 87

Menjadikan novel ini semacam novel pengetahuan. Cuma entah kenapa, informasinya jadi nggak penting, Mbak. Kalo untuk urusan kedokteran, sudah dibahas secara gamblang oleh para dokter seperti bu dokter Dewi dan mbak Iyut. Kayaknya ke mereka aja, deh, analisis kesalahan medisnya. Kalo saya, terganggunya di antaranya... *menurut saya, Mbak bisa lebih hemat dan bijak pake kalimatnya*

... dengan menghadiri even-even semacam seminar yang berhubungan dengan pencernaan, hati, jantung, paru-paru, otak, dan organ-organ tubuh lainnya. hal 78

Tapi dinginnya embusan angin dari pendingin ruangan meningkatkan produksi pembuangan air dari kandung kemih. hal 79

Masih ada lagi, Mbak...
Kalimat-kalimat yang hiperbola kayak

Tapi sebelum kekuatan kosmis mengguncang keduanya dengan setruman yang dahsyat, gangguan datang." hal 61-62

"Karena aku menunggu destiny-ku."
Tawa Wiro pecah. "Oh, man! Aku tidak menyangka kalau di balik sikapmu yang dingin, kamu memiliki sisi yang romantis!" hal 65
*menunggu destiny = romantis?*

Baru segitu halaman aja, saya udah jambak-jambak rambut saya, Mbak. Trus, saya nggak sanggup nulisin lagi, tapi yang jelas, buku biru legendaris punya bu dokter Dewi yang pindah satu tangan ke tangan lain ini, penuh tempelan post it dari saya. Tadinya, saya berencana mindahin ke blog ini. Tapi apa daya, saya nggak mampu. Masih ada kerjaan lain yang menunggu. Buat nulis curhat ini aja udah seharian penuh, nih... #lebay. Cuma sebagai bukti, Mbak bisa lihat gambarnya sebagai berikut...



Itu pas persediaan stiker post it saya masih ada. Di 100 halaman terakhir, udah buru-buru aja, deh, Mbak, bacanya. Dan sayangnya, stiker post it saya keburu habis. Udah gitu, saya ga bisa nulis semuanya di sini pula #toyorpeni.

Belum lagi berkali-kali muncul statement kalo jadi dokter itu mesti pemberani, ga boleh penakut. Yah, kalo begitu memang adanya, pantesan aja, saya ga pernah lulus tes masuk FK Unpad. Karena saya sangat penakut, mbak...

Terus, ya, saya udah ga suka sama yang namanya Rhett Butler, jadi makin nggak suka karena ternyata dia ada versi Ken-nya di Barbie. Saya emang nggak suka dengan Barbie, jadi makin nggak suka karena ternyata muncul Ken versi Rhett Butler. Sori, ya, Rhett, buat saya tampan itu bukan kumis yang mentereng atau kelakuan flamboyan. Makin-makin sebel aja deh, gue ke elu, karena elu ternyata idola mama Maroon dalam bentuk boneka. -____-"

Trus, ada ketimpangan lagi, Mbak. Settingnya penuh dengan "nuansa" Inggris, Singapore, Jepang... tapi kok, ada pocong juga ya, ikutan muncul di sini. Cameo, kah? Mbak, saya nggak bisa berhenti ngakak, lho. Sumpah! Apakah pengen memunculkan Indonesia dengan tampilan pocong, mbak? Itu, lho, bagian Donald pas masih jadi hantu, eh, apa spirit, apa roh gentayangan sih? Kan ada tuh, dia bertarung lawan pocong? Epic, deh, Mbak! =))

Trus, trus.. itu... Donald teman bermain dan belajar. Setahu saya, itu bukan slogan Donald. Tapi Bobo #abaikan

Ditambah lagi pernyataan dari Mbak, bahwa untuk memahami novel ini, saya harus menonton atau menghayati Phantom of the Opera (okay, I admit it, mbak. Saya belum pernah tahu), kayaknya terlalu muluk. Saya pikir, kalo mbak tersepona sama Phantom, saya mestinya bisa merasakan keterseponaan itu, tanpa saya harus nonton Phantom of the Opera, kan? Gini, deh. Saya suka banget sama Kimura Takuya. Banget, mbak. Trus, saya suka banget perannya di film dorama Good Luck. Cara saya nularin ke orang-orang biar suka Good Luck, cuma ceritain sedikit aja. Kalo mereka nggak tertarik, ya ga masalah. Yang penting udah saya sampein, kerennya di mana. Atau ini, deh. One Litre of Tears. Saya cuma cerita sedikit, tapi orang-orang udah bisa ngebayangin sedihnya cerita itu. Sementara saya? Gagal ngebayangin kerennya Donald atau David, karena tandingannya Ken/Rhett Butler/Phantom. Lalu, mbak berusaha keras buat nampilin di sini, Donald atau David itu sangat ganteng, semisal Ken/Rhett Butler/Phantom. Sumpah, mbak, balik ke selera saya, saya mah doyannya Kimura Takuya... *jilatin screen iPin yang ada foto Kimutaku* 

Satu hal lagi, ya, Mbak. Mungkin Mbak ga suka dengan gay. Sebetulnya, dulu ya, saya benci banget. Tapi akhirnya saya bikin pengecualian. Saya punya sahabat gay. Dan saya sayang setengah mati sama dia, Mbak. Dia itu menyenangkan. Saya selalu merindukannya kalo dia nggak ada kabarnya, Mbak. Dan dia pun sayang saya. Jadi, saya agak nggak terima, kalo Mbak bikin prejudice yang bikin Mbak sebenernya nggak paham, kalo gay itu sahabat cowok yang paling ngerti perempuan. Ini saya bicara serius, lho.

Saya nyerah, deh, Mbak. Saya memang nggak berotak prima. Otak saya teflon lengket. Saking lengketnya, serasa ada Donald sedang mengintip saya somewhere. Mungkin dia bergulat dengan pocong yang konon suka ada di kebun pisang dekat rumah ortu saya, jadi si pocong ga berani mampir ke rumah buat nakut-nakutin saya. 

Cuma, bukan Peni namanya kalo dilarang nggak makin penasaran. Saya jadi penasaran dengan kelanjutan cerita ini, Mbak. Apakah ada mbak L di dalamnya? Tentu nggak, ya... Kalo mbak L tuh ada di novel mana, Mbak? Pengen tahu juga kisahnya di dalam cerita mbak...

Udah dulu, ya... saya kok mendadak tremor ini. Oh, udah siang. Udah waktunya makan siang. Semoga, saya dikasih kesempatan buat baca Obsesi dan De Javu, ya, Mbak... biar saya tahu, Olivia gedenya kayak apa. Destiny-nya dengan David-kah? Maaf, ya, saya emang kepo. Saya sekaligus menantikan novel tentang mbak L, lho. Sudah tayangkah? Kok saya nggak tahu kabarnya? Editornya dua jugakah? XD

Sekali lagi...

Terima kasih banyak buat jasa mbak YKD yang udah membuat saya kenal dengan banyak pembaca di Indonesia. Love you, Mbak! Mwah!

------------

Terlepas dari #postingbareng #BBI2013 dalam rangka #penulisperempuan, saya posting ini juga buat challenge Finding New Authors


Terusin baca - [posting bareng] Memory and Destiny