Tampilkan postingan dengan label buku perempuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku perempuan. Tampilkan semua postingan

12 Jan 2016

ibuk, oleh Iwan Setyawan





Judul: ibuk,
Penulis: Iwan Setyawan
Editor: Mirna Yulistianti
Proof Reader: Dwi Ayu Ningrum
Ilustrasi dan desain sampul: Itjuk Rahay
Setter: Ayu Lestari
Cetakan pertama, Juni 2012
Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 293 hal + xi
ISBN: 978-979-22-8568-0
Genre: Novel, Fiksi, Indonesian Literature, Family, True Story, Drama, Inspirational
Status: Punya. Beli seken di tante Selebvi keknya



"Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat."
-Ibuk-

Masih belia usia Tinah saat itu. Suatu pagi di Pasar Batu telah mengubah hidupnya. Sim, seorang kenek angkot, seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata. Keduanya menikah, mereka pun menjadi Ibuk dan Bapak.

Lima anak terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh perjuangan. Angkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor di kala hujan, biaya pendidikan anak-anak yang besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan dihadapi Ibuk dengan tabah. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin indah.

ibuk, novel karya penulis national best seller Iwan Setyawan, berkisah tentang sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan sederhana yang perkasa. Tentang sosok perempuan bening dan hijau seperti pepohonan yang menutupi kegersangan, yang memberi napas bagi kehidupan. 



Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...

Sakit itu bikin segala nggak enak, ya. Males ngapa-ngapain. Haha. Sakit selama dua minggu sebelum tahun baru trus balik lagi kena flu berat itu sungguh mengganggu!

Untungnya, bacanya nggak kena males. Walau kecepatan baca masih seperti siput, sakit kepala dan running nose nggak menghalangi buat balik halaman berikutnya. Dan masih aja nekat duet nyanyi di Smule, dong! Hahahahaha. Kedengeran banget lah, melernya :P

Oke. Sekarang kita ngomongin buku ini. Beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2013 waktu pertama kalinya Bunda ikutan Secret Santa, Bunda beli buku ini untuk hadiah target Bunda. Saat itu sih nggak tertarik buat beli untuk diri sendiri.

Beberapa waktu kemudian, waktu lihat banyak yang mereview buku ini, akhirnya jadi pengen baca juga. Tapi masih belum tergerak buat beli sampai tante Selvi jual buku ini bareng buku Pintu Harmonika dan beberapa buku lainnya. ibuk, ini jadi salah satu pilihan Bunda kemudian. Berhasil menarik perhatian papa, jadi dia yang baca duluan. Hihihi.

ibuk, bercerita tentang seorang Tinah muda yang harus putus sekolah di masa muda, lalu ikut mbahnya, Mbok Pah, berjualan pakaian bekas. Banyak yang menyukai Tinah, karena kesederhanaannya, kecantikannya juga. Di sebelah kios Mbok Pah, ada kios yang berjualan tempe. Pemuda penjual tempe itu kerap memberikan tempe pada Tinah, sebagai wujud rasa sukanya kepada Tinah.

Dari banyak pemuda yang tertarik pada Tinah, hanya Sim-lah yang membuat jantung Tinah berdegup. Sim adalah seorang kenek playboy yang menjaga penampilan. Walau seadanya, dia nggak berpenampilan lusuh seperti umumnya kenek. Justru dia tampil klimis dan rapi. Singkat cerita, Tinah dan Sim saling jatuh cinta, lalu menikah.

Apakah cinta sesederhana itu?

Cerita ibuk, ini menggambarkan bahwa "happily ever after the end" itu nggak seindah cuma senang-senang tanpa keluh kesah, rasa susah, dan lain-lain. Penceritaan ibuk, diambil dari sisi Bayek, anak Ibuk nomer tiga. Satu-satunya lelaki.

Suatu ketika, Bayek pernah "mati suri". Nggak sakit, tertidur lama, tapi nggak bernapas. Namun detak jantung ada. Hal ini membuat Ibuk sangat cemas. Bayek juga pernah "diramalkan" akan menjadi orang yang membahagiakan Ibuk. 

Ibuk adalah sosok seorang perempuan hebat yang perkasa, jauh dari manja. Ibuk mampu mengurus suami dan kelima anaknya dengan tangannya sendiri.

Awal baca buku ini sebenernya emosinya datar, tapi lumayan bisa dinikmati. Ibarat baca diary orang. Namun, ketika membaca penuturan perjuangan Ibuk, di saat Bapak mengeluh angkot bolak balik mogok, anak-anak rewel karena sudah waktunya bayar SPP, rapor Bayek harus tertahan tidak dibagikan disebabkan belum bayar SPP dan kalender (nggak abis pikir, kenapa diwajibkan beli kalender, ya?), sepatu semua anak jebol berbarengan, Ibuk harus ngutang dan cicil sana sini juga mengatur keuangan seadanya dan memutar otak supaya semua bisa kebagian, nggak kerasa air mata Bunda mengalir.

Ibuk berjuang membesarkan hati Bapak juga kelima anaknya. Ibuk mengajarkan kesederhanaan pada anak-anaknya. Ibuk juga mengajarkan anak-anaknya untuk punya pijakan yang kuat. Ibuk menumbuhkan kasih sayang di hati anak-anaknya. Ibuk yang punya tekad kuat supaya semua anaknya menyelesaikan sekolah, apapun yang menjadi rintangannya.

Ingatan Bunda kembali ke masa Bunda masih SD. Waktu itu, YangKung lagi belum ada kerjaan, karena banyak proyek yang sebetulnya sudah kelar, tapi pembayaran masih tersendat. Jadi, mau ngerjain pekerjaan berikutnya belum ada modal, disebabkan dari hasil pekerjaan sebelumnya belum
dapat bayaran. YangKung dulu berprofesi sebagai arsitek dan pembuat maket (miniatur gedung). Dibayarnya per proyek selesai. Jangankan untuk beli bahan-bahan maket, untuk makan sehari-hari aja udah abis bis bis.

Hari itu, Bunda pulang sekolah, mendapati YangTi sedang duduk di ruang tengah. Menunggu YangKung. YangTi membelai rambut Bunda dan bilang, "kita belum bisa makan dulu. Belum ada uang untuk beli beras. Tunggu Bapak, ya. Mudah-mudahan, ada yang mau bayar, walau baru sepuluh ribu saja". Saat itu, nilai sepuluh ribu rupiah mungkin sama dengan seratur ribu rupiah saat ini. Bunda duduk berdua YangTi. YangKung rupanya sudah berangkat dari pagi, nagih-nagih ke klien kayaknya. Pulang-pulang, beneran bawa uang selembar sepuluh ribu rupiah. YangTi langsung ke pasar untuk beli beras dan beberapa lauk.

Mungkin karena pernah ngalamin cerita sejenis, pas Papa bilang, "ceritanya nggak ada emosinya", Bunda malah punya perasaan yang berbeda. Bunda sempet baper juga, karena memang pernah mengalami hal serupa dengan Bayek. Papa juga pernah ngalamin hal serupa, kok :D

Bersyukurlah kalian yang nggak ngalamin masa susah ketika kecil dan semoga nggak membuat kalian mati rasa melihat orang lain yang lebih susah dari kalian.

Kalimat-kalimat yang ditulis Iwan Setyawan ini sederhana dan mengena, mengalir juga. Walau "status" bukunya novel, tapi jadi kayak baca semi biografi. Yang agak "kurang" sebenernya saat ada hal-hal yang bisa diungkapkan secara emosional, keluarnya jadi datar. Terus terang agak geregetan jadinya. Namun di beberapa bagian emang ada juga penuturan yang bisa hit my nerve lalu nggak kerasa bikin meleleh. 

Mestinya sontreknya masih A Song for Mama juga, nih. Heuheu.


Sayangnya kurang ditunjang sampul yang mestinya bikin adem (Bunda kurang tertarik dengan sampulnya, ke-rame-an) plus banyak penuturan yang emosinya nggak keluar hingga terasa agak datar, Bunda tetep kasih bintang empat untuk Ibuk yang hebat dan menginspirasi semua ibu di dunia agar tidak menjadi ibu dan istri yang cengeng dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi anak yang hebat! :D

Semoga Bunda bisa jadi Ibuk yang baik buat kalian berdua! Aamiin...

Cheers and love! xoxo,





Terusin baca - ibuk, oleh Iwan Setyawan

7 Mei 2014

Kisahku Bersama Sepotong Kata Maaf


Judul: Sepotong Kata Maaf
Penulis: Yunisa KD
Editor: Anin Patrajuangga
Desainer Cover: Steffi
Penata isi: Phiy
Diterbitkan oleh PT Grasindo
Cetakan pertama 2013
Jumlah halaman: 304 hal
Genre: Novel, Fiksi Kontemporer, Time travel, Woman, Semi-thriller
ISBN: 978-602-251-132-8
Status: Punya. Beli di Hobby Buku Online Bookshop
Harga: IDR 53,000


Blurb:
Ini adalah kisah nyata seorang gadis yang menolak untuk meminta maaf meskipun telah berulang kali diajukan permintaan resmi agar ia melakukannya. Dia meninggal 7 kali oleh pena seorang novelis. Itulah cara ringan untuk merangkum cerita ini.

Dalam dimensi yang berbeda, hidup memang seperti persamaan Matematika: ada berbagai variabel dan konstanta. Kematian seorang gadis bermoto "Maaf tampaknya adalah kata tersulit", itulah sang konstanta.

Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...
Kelar juga baca buku ini setelah mandek lama. Hehe...



Sama penulisnya, buku ini digadang sebagai buku yang berdasarkan kisah nyata, pengalaman penulisnya sendiri. Konon, sneak peek-nya sering beredar di fanpage penulis. Cuma Bunda nggak ngikutin, sih, jadi ga begitu tau. Takutnya, kalo Bunda terlalu tahu cerita hidup penulis, Bunda nggak netral lagi dalam mereview bukunya. Bunda nggak tertarik dengan kehidupan pribadi penulis, makanya nggak follow twitternya maupun gabung di fanpagenya. Dengan begitu, Bunda bisa baca novel yang ini ya apa adanya yang tertuang di sini aja. Walaupun dibilang berdasarkan kisah nyata.

Jadi? Sepotong Kata Maaf ceritanya tentang apa?

Ceritanya bermula dari kekesalan Dewi yang pada saat acara ROM (penandatanganan perjanjian pernikahan) mesti menyaksikan suaminya, Jeremy Subroto, berfoto dengan sahabatnya, Lisa Hisman ~yang kemudian diberi julukan "ganjen"~ tanpa mempelai perempuan. Yang menambah kekesalan Dewi adalah posisi Lisa yang teramat dekat dengan Jeremy yang hanya tersisa sedikit aja ruang sehingga mereka nyaris nempel. Jeremy yang menganggap Lisa adalah sahabatnya, tentu nggak ngeh dengan kekesalan Dewi. Menurut Jeremy, ini wajar aja, karena mereka bersahabat. Sementara menurut Dewi, keluarga Dewi dan teman-teman Dewi, pose foto berdua seperti itu, tanpa mempelai wanita juga, bikin geger dan geram.

Dari situ, cerita berkembang ke berbagai alternatif kematian Lisa Hisman di dimensi yang berbeda. Gimana cara? Pake mesin waktu, dong...

Di cerita awal, Lisa dan Armand akan melangsungkan pernikahan, tapi gereja tempat mereka menikah dibom. Kemudian, Jeremy yang jenius itu, masuk ke mesin waktu ciptaannya untuk mencegah pengeboman terjadi, karena niatnya sih, menyelamatkan orang lain yang ga bersalah. Kalo Lisa doang yang mati ya biar aja. Kurang lebih gitu. Maka dimulailah kisah petualangan Jeremy Subroto melintasi berbagai dimensi lewat mesin waktu yang ternyata nyasar melulu. Yang jelas, ini bikin penulis leluasa membunuh Lisa Hisman di berbagai dimensi waktu dengan berbagai alternatif cara kematian :D

Kabarnya, sih, ini emang kisah nyata penulis pada saat dia dan suaminya meresmikan pernikahan mereka. Jadi, anggaplah, ini novel balas dendam buat mbak Lisa (nama sebenarnya) yang sudah membuat penulis murka.

Sebetulnya, ide time travel itu udah nggak aneh, sih. Jadi ya nggak ada yang istimewa banget dari novel ini. Yang jelas, sih, aura dendamnya nyampe banget ke pembaca. Kelewatan aja, sih, menurut Bunda... Dengan kata lain: lebay banget dendam kesumatnya.

Beberapa catatan yang sempet Bunda simpan tentang buku ini, ya...

1. Kalo dari sisi ide, terus terang Bunda nggak suka, apalagi "inspired from true story". Karena penulis memang berniat membunuh seorang Lisa Hisman di dalam novelnya sampai tujuh kali. Well, oke. Merasa kesal, benci karena seseorang telah "melukai" perasaan kita tuh wajar. Tapi, jauh lebih baik memaafkan duluan daripada "mengemis" permintaan maaf dari orang lain dan ketika permohonan maaf nggak kunjung datang, lalu memutuskan "membunuh" orang yang dibenci (meski) dalam bentuk cerita fiksi dalam berbagai alternatif itu cuma membuat penulis terlihat sama sekali nggak bermartabat. Sorry to say.

2. Bunda juga pernah merasa cemburu atau kesal sama orang. Tapi, Bunda percaya, memaafkan lebih dulu itu lebih bikin legowo dan nggak kepikiran, kok. Hidup jadi tenang dan nggak penuh dendam. Tips dari Bunda, daripada membenci seseorang lebih baik mengabaikan orang yang (tadinya) kita benci aja. Lebih enak dan ga musingin ke kitanya. Beneran, deh! Cobain aja. Ignorance is bliss :D

3. Dari sisi penceritaan. Hmm.. nggak ada yang berubah, sih, dibanding buku biru legendaris penulis. Apalagi kalo yang dimaksud dengan karakter Dewi di sini adalah penulis itu sendiri. Aura narsisnya udah over dosis, jauh melampaui narsisaurus syndrome-nya Gilderoy Lockhart. Bayangin narsisnya si Gilderoy Lockhart aja udah bikin muak, maka kalo ada orang lain yang narsisnya melampaui beliau, silakan takar sendiri standar kemuakan kalian.

4. Deskripsi karakter utama yang terus menerus diulang, bikin 300 halaman buku terasa seperti pemborosan. Karena, kayaknya kalo bisa dilangsingin, 150 halaman juga kelar. Bunda coba bandingkan cara penulis lain yang bukunya Bunda baca dan beberapa udah Bunda review di antaranya, rata-rata mereka nggak saklek mendeskripsikan karakter utama mereka kayak gimana. Ngalir aja di cerita, tapi kita sebagai pembaca, bisa langsung ngebayangin dan punya imajinasi sendiri mengenai karakter di cerita itu. Nggak rusak oleh deskripsi yang bener-bener text book dari penulis.

Sebagai contoh, semua pembaca serial Harry Potter pasti tahu gimana cerdasnya Hermione Ginger tanpa perlu disebutin berkali-kali kalo Hermione itu pinter, genius, penghafal cepat dan pelahap buku. Semua muncul lewat dialog-dialog yang cerdas dan ide-ide yang dicetuskan Hermione ketika mereka menghadapi masalah.

Atau, karakter Amal di buku Does My Head Look Big in This? Meski nggak disebutin segimana cantik, cerdas, penuh sopan santun dan punya kebaikan hati yang luar biasanya Amal, kita bisa tahu gitu aja (atau minimal ngebayangin, deh) melalui semua dialog dan ceritanya.

Masih banyak deh yang lainnya. Termasuk gimana kita bisa ngebayangin gantengnya Christian Grey di FSOG. Ga perlu deskripsi lengkap banget yang bakalan menghancurkan imajinasi pembaca.
Sementara di buku ini, penulis kek pengen ngasi tau pembacanya berulang-ulang, kalo Dewi itu cantik, sempurna, punya buah dada yang menggemaskan, pintar, kaya, tahu sopan santun, punya tata krama dan seterusnya.

5. Sebentar. Tadi Bunda bilang, berkali-kali disebutin Dewi itu cantik, sempurna, punya buah dada yang menggemaskan, pintar, kaya, tahu sopan santun, punya tata krama dan seterusnya, kan? Nah. Kalo iya, tahu sopan santun, punya tata krama, ini ada sesuatu yang bikin Bunda agak sakit kepala.
Dewi ini berkali-kali mengomeli suaminya dengan kata-kata, "kamu ini goblok atau goblok, sih, Mi?" Kalo seorang Dewi adalah seperti yang disebutkan berulang-ulang di atas, lalu bisa nyebut suaminya goblok berulang-ulang setiap dia merasa kesal pada suaminya yang kurang peka sama perasaannya, terutama terhadap kekesalannya pada Lisa Hisman, lalu gimana dengan perilaku orang yang nggak punya tata krama dan sopan santun, ya? *headspin*

6. Penulis berusaha keras banget buat terlihat kalo dia banyak banget pengetahuannya dengan memasukkan berbagai quote yang kadang nggak nyambung dengan konteks cerita. Trus, udah gitu, seakan-akan pengen bilang, bahwa pembacanya bodoh ga sepintar dia, ditulislah dua bahasa itu quote. Too much information, I guess.

7. Mengenai kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" yang oleh penulis disebut sebagai common phrase di Indonesia, rasanya Bunda harus luruskan dulu. Semoga ini memang karena ketidak tahuan penulis. Masukan Bunda buat penulis adalah penulis mau berteman dengan orang-orang penganut agama Islam, jadi bisa diskusi, minimal nanya-nanya, terutama yang berkaitan dengan doa.

Kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" adalah kalimat yang harus diucapkan (umat Muslim) ketika mendengar ada orang lain mendapat musibah atau dirinya sendiri mengalami musibah. Arti dari kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" adalah "to Allah we belong and to Allah we will return/kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah."


Bolehlah sebut ini novel fiksi. Biarpun ini fiksi, menurut Bunda, sefiksi-fiksinya fiksi, tetep aja kalo ada informasi yang akurat tetep ga boleh dibelokin. Bunda banyak belajar dari komik atau novel. Jadi, sebaiknya emang informasi sepenting itu masuk sebagai bahan informasi buat pembaca, walau pun ceritanya fiktif. Kan penulisnya katanya pinter banget. Pasti risetnya udah dalem banget, dong, ya...

8. Bunda masih nggak habis pikir, kenapa Dewi bisa sedendam ini sampai "ngemis" dan melakukan berbagai cara supaya Lisa Hisman minta maaf. Kalo Lisa-nya nggak ngerasa berbuat salah, ya udahlah. Biarin aja. Tapi kalo sampai dibunuh dengan berbagai variasi, mending bikin novel thriller dengan judul "Tujuh Alternatif Pembunuhan Lisa Hisman", bukannya "Sepotong Kata Maaf".

9. Untuk ide masuk ke berbagai dimensi, okelah. Bolehlah. Tapi, kenapa hampir di semua dimensi yang bukan dimensi sebenarnya itu, Roger Gunawan muncul sebagai suami Dewi? Kok, kesannya, Dewi nyesel nikah sama Jeremy Subroto, ya? Kesannya, penulis pengen banget menikah dengan Roger Gunawan - if he is existing in this world. Atau emang ada orangnya? Soalnya dengan nulis nama semua karakter mirip dengan aslinya, apa itu nggak menyinggung perasaan suaminya? Sebelum menikah sampai sekarang, Bunda selalu dinasihati untuk menjaga perasaan suami, bertutur kata yang baik pada suami. Lah ini? Suami digoblok-goblok. Semoga kalian berdua kelak dapat istri yang selalu memuliakan suaminya. Aamiin. Biar pun Dewi secantik bidadari, kalo kata-katanya bau begitu... errrr... masih bisa disebut cantik dan sempurna?

10. Masih bingung dengan pola pikir Jeremy mau pun Roger sebagai laki-laki di dalam cerita ini. Gimana, ya. Boleh, deh, Bunda disebut ganjen atau genit karena mayoritas teman Bunda adalah laki-laki. Tapi keuntungan dari punya banyak teman laki-laki adalah: Bunda memahami cara berpikir mereka yang sama sekali beda banget dengan cara berpikir cewek. Tapi di cerita ini, cara berpikir semua orang di karakter, kecuali Lisa Hisman tentunya, sama banget dengan cara berpikir Dewi, termasuk cara berpikir para pria yang pro ke Dewi semuanya. Bunda sih, percaya dengan peribahasa Indonesia yang bilang, "lain ladang, lain belalang. lain lubuk lain ikannya." Jadi, beda orang ya beda isi kepalanya. Mau punya pengalaman yang sama persis plek kek apa pun, tetep aja pasti ada perbedaan pendapat dan cara berpikir. Apa lagi kalo makhluk bernama cowok itu datengnya dari Mars dan cewek itu datengnya dari Venus. Dua planet yang berbeda, kan? *apa maksudnya, coba?*

11. Salut sama pemakaian kata "menyeleweng" (sounds jadul, tuwek banget) sementara kebanyakan orang sekarang nulis kata "selingkuh" :D

12. Di akhir buku, sih, akhirnya Dewi bilang ke Jeremy nggak usah berusaha memperbaiki keadaan. Intinya, dia udah nerima gimana "keukeuhnya" Lisa yang nggak merasa bersalah berikut permohonan maaf yang ga kunjung dateng. Tapi, tetep aja, Lisa-nya dibikin mati yang otomatis nggak jadi menikah dengan Armand. Cuma agak bingung juga, di dimensi ke-7 tuh maksudnya Jeremy pulang ke dimensi asal apa gimana, sih? Soalnya kalo pulang, mestinya ga ke dimensi ke-7, dong? Apa ini maksudnya Jeremy dateng ke Jeremy di dimensi lain? Blunder :D

Tapi kesan yang ditinggalkan di akhir dimensi ini ditutup dengan manis banget, menunjukkan Dewi yang nggak mau memusingkan perkara Lisa lagi, yang udah lalu biarlah berlalu. Meski tetep, Lisa dibuat mati di sini, plus, dipermalukan (dikasih nama Tante Ganjen) di depan anak-anaknya yang sudah besar dengan alasan sebagai contoh. Kalo suatu saat Bunda mau nasihatin kalian mengenai memilih perempuan yang baik, Bunda nggak akan buka aib orang lain. Bunda akan kasih case aja, nggak perlu memperlihatkan foto-foto kenangan buruk yang tersimpan berabad-abad. Itu sama aja dengan menyimpan dendam dan mewariskan dendam pada anak-anak Bunda. Never. Bunda pun nggak pernah akan ngasih tau kalian kalo semisal Bunda punya orang yang Bunda benci. Karena rasa benci itu menular.

13. Sekarang, kira-kira di antara kumpulan kata ini:

pintar ramah goblok cantik kaya sopan goblok santun goblok cemerlang genius goblok tampan cerdas goblok lintas waktu goblok miliarder sempurna goblok tinggi menjulang goblok

sensasi apa yang kalian dapatkan saat baca kumpulan kata di atas? Kata apa yang bakalan paling nempel di kepala kalian saat membacanya? Kurang lebih, seperti itulah sensasi saat membaca novel ini.

14. Apakah review Bunda ini negatif? Hmm... terus terang, ya, suka heran kenapa review yang sifatnya mengkritik itu, kok, sama penulis dibilang review negatif dan yang nge-reviewnya dianggap haters? Karena Bunda bukan hater penulis, meski bukan juga fans berat penulis, Bunda benci kalo seandainya penulis sempat baca review Bunda ini langsung ngecap Bunda termasuk haters-nya. Daripada membenci orang, Bunda lebih suka mengabaikan orang. Membenci itu menguras energi. Keingetan terus dan bahkan malah jadi kenal lebih banyak, jauh lebih banyak dari porsi semestinya ketika membenci orang. Makanya, Bunda memilih mengabaikan ketika Bunda nggak suka sama orang lain. Jadi, energi Bunda ga perlu habis mikirin orang itu. Mending mikirin yang indah-indah aja dan menikmati semua yang indah daripada hidup penuh kebencian. Capek, bow...

Bunda nggak pernah bermaksud menulis review negatif. Dan ga pernah mendaftarkan diri jadi haters fanatiknya. Tapi apa yang Bunda tulis di atas hanya catatan Bunda mengenai apa yang udah Bunda baca aja dan cukup ngeganjel. Gitu aja, sih. Bunda tipe orang yang kalo suka akan bilang suka, kalo ga suka ya bilang ga suka. Titik. Yang jelas, Bunda baca dari awal sampai habis, bukan untuk menyerang penulisnya. Emang murni pengen baca. Titik.

Penulis yang baik akan nerima review sepedas apa pun dari pembacanya dan ga ngecap, "cuma pembaca". Jadi pembaca itu repot juga, kok. Bunda ngemodal buat beli buku ini. Pake ongkos kirim. Sampulnya beli juga. Bacanya makan waktu juga, karena perlu mood bener-bener baik biar ga marah-marah saat baca buku ini, karena seperti penulisnya bilang di blognya, "Orang yang baru pertama kali baca novelku bilang mereka suka banget, bukunya mudah dibaca, bisa merasakan emosi, bisa tertawa dan misuh-misuh saat membaca." Jujurly, kalimat yang Bunda tebalkan benar adanya. Bunda bisa tertawa dan misuh-misuh saat membaca, kok. Hihihi. Misuh-misuhnya bukan karena gemas pada Lisa atau Jeremy melainkan oleh pola pikir penulis. Tertawa karena apa, ya? Menertawakan kenarsisan penulis, mungkin? :D

15. Bunda nggak akan bertanya-tanya kenapa buku ini bisa ikut terpilih untuk diterbitkan di lomba Grasindo - Publisher Seeking Author (PSA) dari 630 naskah yang masuk. Bunda juga nggak akan mempertanyakan kriteria panitia. Tapi kalo naskah kayak gini bisa lolos, gimana dengan naskah yang ga lolos, ya?

16. Agak bingung dengan blurb-nya. Kok nggak nyambung sama keseluruhan cerita.
 





All in all, ma kasih buat penulis yang sudah meramaikan kancah pernovelan Indonesia. Termasuk segala kehebohan yang pernah ditimbulkan. Belajar dari novel ini, memaafkan itu jauh lebih simpel dan mulia ketimbang berharap orang lain menyadari kesalahannya pada kita sampai membuat kita berkali-kali memberi teguran supaya yang bersangkutan minta maaf (apalagi pake cara formal banget) bahkan sampe pengen membunuhnya sebanyak tujuh kali, meski itu hanya di dalam imajinasi. Heuheu... Demikianlah kisah Bunda bersama Sepotong Kata Maaf.

Pesan Bunda, sih, simpel aja. Kalo orang lain yang bersalah ke kita ga mau minta maaf, maafin aja duluan. Pahalanya lebih gede, kok, insya Allah. Daripada dendam sampe pengen matiin. Duh, kayak orang nggak bermartabat aja...

Love you both... Cheers...








Terusin baca - Kisahku Bersama Sepotong Kata Maaf

21 Mar 2014

Marriageable by Riri Sardjono


Judul: Marriageable
Penulis: Riri Sardjono
Editor: Windy Ariestanty
Proofreader: Mita M. Supardi
Penata letak: Gita Ramayudha
Desain sampul: Dwi Annisa Anindhika
Diterbitkan oleh: Gagas Media
Cetakan ketujuh, 2013
Jumlah halaman: x + 358 hlm; 13 x 19 cm
ISBN: 979-780-651-0
Genre: Novel dewasa, Adult, Romance Indonesia, Romance, Indonesian Literature, Chicklit
Status: Punya. Beli di Rumah Buku. Harganya 49rb, diskon 20% + 2%
Namaku Flory. Usia mendekati tiga puluh dua. Status? Tentu saja single! Karena itu Mamz memutuskan pencarian Datuk Maringgi abad modern untukku.
"Kenapa, sih, gue jadi nggak normal cuma gara-gara gue belom kawin?"
"Karena elo punya kantong rahim, Darling," jawab Dina kalem.
"Kantong rahim sama kayak susu Ultra. Mereka punya expired date."
"Yeah," sahutku sinis. "Sementara sperma kayak wine. Masih berlaku untuk jangka waktu yang lama."
Mamz pikir aku belum menikah karena nasibku yang buruk.
Dan kalau beliau tidak segera bertindak, maka nasibku akan semakin memburuk. Tapi Mamz lupa bertanya apa alasanku hingga belum tergerak untuk melangkah ke arah sana.
Alasanku simple. Karena Mamz dan Papz bukan pasangan Huxtable. Mungkin jauh di dalam hatinya, mereka menyesali keputusannya untuk menikah. Atau paling tidak, menyesali pilihannya. Seperti Dina, sahabatku.
"Kenapa sih elo bisa kawin sama laki?"
Dina tergelak mendengarnya. "Hormon, Darling! Kadang-kadang kerja hormon kayak telegram. Salah ketik waktu ngirim sinyal ke otak. Mestinya horny, dia ngetik cinta!"
See?
"Oh my God!" desah Kika ngeri. "Pernikahan adalah waktu yang terlalu lama untuk cinta!"
Yup!
That's my reason, Darling!

Halo, Kakak Ilman dan Adik Zidan...
Bunda melewatkan banyak keriaan di acara ulang tahun BBI tahun ini. Soalnya... Bunda kan sakit dua pekan, sampai sempat jadi penghuni rumah sakit hampir semingguan. Jadi... ya sudahlah... Bunda emang dari awal udah prediksi ga bisa ikut serangkaian acara ultah BBI tahun ini. Udah punya feeling gitu aja. Entah kenapa.

Dampak bagusnya, sebelum Bunda dirawat di rumah sakit, Bunda jadi menghabiskan dua-tiga buku gitu, deh. Kalo pas dirawat di rumah sakit, malah ga baca buku sama sekali meski bekal buku. Ternyata, obat-obatan di dalam infus bikin Bunda terlelap terus. Coba kalo sehat. Butuh waktu sebulan buat menyelesaikan baca satu buku saja. Hihihi. Jadi, ada banyak bahan buat nulis di sini... ^_^

Oke. Sekarang, Bunda mau cerita tentang Marriageable ini. Seperti kalian baca di atas, itu adalah potongan adegan saat Flory ngumpul dengan sahabat-sahabatnya, curhat mengenai usaha mamanya buat mendapatkan suami untuk putri satu-satunya itu. Karena menurut Mamz, usia Flory saat itu udah SOS harus segera menikah. Alasannya ya seperti yang dibilang sama Dina itu. Perempuan itu punya kantung rahim yang punya expired date.

Terus, akhirnya Flory berkenalan dengan seorang Vadin, hasil temuan Mamz. Tante Mia, ibu Vadin cukup akrab sama Mamz. Semula, Flory benar-benar muak dengan perjodohan ini dan mengira bahwa Vadin juga punya perasaan yang sama. Sama-sama muak. Ternyata, di luar dugaan, Vadin santai aja dengan perjodohan ini. Nggak terlihat marah atau apa. Malah, #destiny mereka seperti sering dipertemukan secara ga sengaja. Yaelah, kebawa lagi, deh, kata #destiny.... #tepokjidat

Melihat Vadin yang santai dan nggak terlihat pengen menggagalkan perjodohan ini bikin Flory semakin kesal sebetulnya. Tapi Vadin sendiri nggak melihat alasan kenapa perjodohan ini harus digagalkan? Secara fisik, Flory menarik. Vadin juga. Terus kenapa mesti menolak? Kan gitu aja mikirnya, simple.

Sayangnya, Flory tetep keukeuh menolak perjodohan ini sampai akhirnya dia lelah dan kemudian mencoba menikah dengan Vadin dengan satu syarat yang Bunda nggak akan cerita di sini. Bunda mau cerita di blog lain aja. Hihihi...

Ini #sopiler. Ceritanya happy ending. Udah gitu aja :D

Nah, kesan Bunda terhadap buku ini satu kata aja: SUKA.

Kalo suka, kenapa Bunda nggak kasih rating yang lebih tinggi? Katakanlah lima? Nah, ini dia persoalannya. Si Flory ini bener-bener menjengkelkan tu de maks, deh. Ke-keukeuh-an Flory bikin cerita ini tarik ulur dan menyebalkan buat diikuti. Terus terang, karakter Flory dan semua perilakunya bikin Bunda sempat ilfeel banget sama cerita ini secara keseluruhan. Meski demikian, nggak pantes juga kalo Bunda hadiahi cuma dua atau satu bintang, karena memang Bunda suka dengan Marriageable ini.

Okelah, mungkin karena di sekitarnya, ada "teladan buruk" Flory yang membuat dia parno dengan pernikahan. Tapi ya nggak gitu juga keleuuusss....

Sepupu Bunda, salah satu tante Bunda, bahkan salah satu pakde Bunda juga ada yang mengalami gagal permikahan. Belum lagi ternyata banyak teman sekolah Bunda yang juga mengalami perceraian, bahkan satu sahabat Bunda yang dari luar Bunda yakin mereka kayak pasangan Huxtable, bisa bubar juga. Lalu apakah semua pernikahan harus berakhir dengan perceraian? Haruskah semua pasangan menikah tampak ideal seperti pasangan Huxtable?

Jawabannya: Nggak.

Seperti kata pepatah, "lain lubuk lain ikannya". Lain kepala, lain isi pikirannya. Lain orang, lain isi hatinya. Nggak semua pernikahan harus sama modelnya. Ada yang memang model romantis. Ada yang memang model cuek banget. Ada yang memang kerjanya berantem melulu tapi awet. Ada yang kayak adem ayem tapi di hati masing-masing punya dendam, sekalinya ada pemicu keluar semua lalu bubar jalan. Macam-macam. Tinggal kita milih mau seperti apa punya konsep pernikahan itu.

Terus, kalian (mungkin) akan bertanya. Gimana Bunda menjalani pernikahan dengan Papa?

Jawabannya simple aja. Cuma mengandalkan Allah. Karena Dia yang mengatur semuanya.

Bunda percaya dengan pilihan Bunda. Papa percaya dengan pilihan Papa. Kedengarannya gampang? Iya. Kalo segala sesuatu diserahkan ke Allah, sisanya kita tenang, kog. Tinggal fokus sama apa yang memang harus dihadapi. Bareng-bareng menghadapi rintangan walau memang nggak mudah. Ada, kok, di lubuk hati *kadang-kadang*, rasa penasaran apakah Papa happy dengan Bunda, dst.

Tapi, sewaktu Bunda memilih Papa, Bunda sudah konsultasi dengan Yang Maha Mengetahui. Dan DIA yang kasih jawaban Bunda. So, kayak apa pun Papa, meski nggak 100% ideal di mata Bunda, dia 1000% memenuhi kebutuhan Bunda. Tapi, Bunda nggak tau dengan Papa. Soalnya, Papa tuh kalo ditanya ya gitu deh jawabannya. Dia nggak memusatkan hal-hal sesepele ini.

Bunda jadi ingat sebuah quote.



Nah. Di sana jelas disebutkan "I received everything I needed". Memang, jujur aja, setiap ada pria yang mendekati Bunda sejak Bunda SD dulu, Bunda selalu mikir jauh ke depan. Bunda bakalan sering komunikasi dengan orang ini, loh, kalo sampe jadian. Apa bakalan betah? Nah, Bunda selalu percaya pada "jatuh cinta pada pandangan pertama". Jadi, kalo dari pertama ngeliat udah nggak nyaman, seterusnya ternyata emang gitu. Makanya, dulu itu, setiap Bunda merasa didekati seorang cowok, Bunda selalu langsung mundur teratur atau malah kabur. Karena, Bunda juga nggak mau ngasih harapan kosong atau terus malah jadi nggak enakan satu sama lain. Sebelum mereka nembak, Bunda udah lari duluan. Dan akhirnya, setelah bertahun-tahun kemudian, mereka baru ngaku satu per satu kalo dulu mereka deketin Bunda tapi Bunda-nya ngacir duluan sebelum "ditembak". Jumlahnya lumayan banyak. Berarti, feeling Bunda dulu ga pernah salah :D

Makanya, mantan pacar Bunda nggak banyak. Tapi mantan TTM banyak ternyata #gubrak.

Balik lagi ke soal memilih pasangan dan keputusan buat menikah. Ada yang ngeles dengan menikah jadi nggak bebas, semua ruang gerak terbatas karena ada yang menunggu di rumah, tanggung jawab jadi lebih besar, dst.

Menikah atau nggak, keduanya punya konsekuensi. Konsekuensi ini yang harus diterima setiap orang sejak awal. Bunda suka kesal kalo denger teman yang bilang, "iya, nih, gara-gara udah punya anak, gue jadi nggak bisa nonton konser, deh..". Please, deh, jangan bilang "gara-gara". Belum tentu yang wara-wiri bolak balik nonton konser *karena masih single* nggak ngiri dengan mereka yang udah berkeluarga, kok.

Dan satu lagi, kita nggak perlu kasih judgement pada orang yang sudah menikah di usia muda atau masih single meski usianya sudah kepala 3 atau 4. Setiap orang punya jalan hidup masing-masing, punya pilihan masing-masing yang bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hargai setiap orang dengan keputusan dan jalan hidup masing-masing. Bicara kalo diminta pendapat aja. Karena kadang, kita bicara karena udah dimintai pendapat aja masih dibantah, kog.

Buat yang pengen menikah tapi masih takut, nggak perlu takut. Semua hal dalam hidup ada resikonya. Semua perlu dihadapi. Buat yang nggak mau menikah karena takut atau hal-hal lain juga, nggak masalah. Itu pilihan. Jangan tiba-tiba membuat keputusan menikah karena takut ketuaan atau iri sama orang lain. Buatlah keputusan menikah karena memang ingin menikah. Titik.

Nah, balik ke cerita Marriageable, tokoh Vadin ini adorable banget menurut Bunda. Bunda sukaaaaaaaaa banget sama Vadin. Dan ga tau kenapa, sejak awal ngikutin tentang Vadin, kebayang Bunda,
Vadin itu kayak gini:   


Terus, Bunda kesel sama Flory, karena apa-apa diceritain semua ke sahabatnya. Ini yang bikin Bunda kesel. Tapi mungkin, karena Flory masih takut gitu kali, ya... Entah deh. Tapi kan jadinya rahasia ranjang pun keluar ke sahabatnya. Padahal, katanya, sih, soal cerita ranjang itu baiknya ga diceritain ke siapa aja. Jadi rahasia berdua aja. Gitu.... Meski akhirnya, ternyata sahabat-sahabatnya juga yang mendukung supaya Flory tetep bertahan dengan pernikahannya... So sweet, ya... empat bintang oke deh, buat Marriageable...

Diposting juga buat:
Indonesian Romance Reading Challenge
Lucky No. 14 Reading Challenge

Review versi lain *karena mengandung adegan uhuk-uhuk* ada di sini.

Stay hungry stay foolish ~ Steve Jobs.
Love you both, xoxo



Terusin baca - Marriageable by Riri Sardjono

23 Jan 2014

Takkan Pernah Menyerah - Sari Meutia dan Emak-emak AAB


Judul: Takkan Pernah Menyerah
Penulis: Sari Meutia, dkk
Penyunting: Budhyastuti R.H
Proofreader: Adriyani Kamsyach
Desainer sampul: Agung Wulandana
Ilustrasi hlm 130: Agung Wulandana
Foto: koleksi pribadi
Penerbit: Qanita
Cetakan pertama, Desember 2013
Jumlah halaman: 136 hal + xii, 20,5 cm
ISBN: 978-602-1637-17-3
Genre: Inspirasi, Kehidupan, Family, Non Fiksi, Memoar

"Aku kadang tidak tahu, apakah aku berdoa agar dia diberi usia panjang atau minta dihentikan saja penderitaannya."

"Dia pun pergi dengan meninggalkan aku yang tak kuasa membendung air mata.Bau parfumnya yang tertinggal di kamar membuatku semakin mual..."

"Tapi, putriku? Aku khawatir akan terjadi penyesalan di masa datang dan semua itu karena salahku dalam pengambilan keputusan saat ini."

Para ibu, tergabung dalam komunitas Arisan Antar Benua (AAB) yang mengawali persahabatannya di kegiatan Pembinaan Anak-anak Salman ITB,

Euis Fauziah - Hepti Mulyati Hakim - Ira Shintia - Keukeu Nurjannah Abdullah - Meilani Dewi Mayasari - Niken Sesanti Suci Rohani - Sangganiawaty - Sari Meutia - Sinta Asfandiyar - Ummi Aisyah,

menuliskan pengalaman mereka menjalankan bahtera rumah tangga dengan suka dukanya. Dari urusan mencari sekolah yang layak untuk anak, merawat suami atau anak yang divonis sakit berat bahkan meninggal, merantau menemani suami, hingga suami yang menikah lagi. Persoalan-persoalan khas istri yang tidak mudah dijalani, kecuali ketangguhan dan kesabaran menjadi perisainya. Perjuangan untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang mandiri.

Halo, Kakak Ilman dan Adik Zidan...

Selamat tahun baru 2014.. masih "hangat" dari sisa-sisa pesta akhir tahun lalu. Pastinya penuh harapan. Bunda belum punya semangat buat bikin master post bakalan ikut challenge apa aja tahun ini. Bikin resolusi baca juga belum. Haha.

Bunda sih kepingin men-challenge sendiri dengan minimal 30 review bisa Bunda produksi di tahun 2014 ini. Entah, deh. Mari kita hadapi aja apa yang akan terjadi di tahun ini dengan semua harapan ;)

Nah, di tanggal awal di tahun baru ini akan Bunda isi dengan buku yang sudah selesai Bunda baca dengan penuh lelehan air mata. Lebay? Mungkin. Meski bukunya berwarna pink, yang Bunda sebut dengan "buku pinkih", bukan berarti isinya penuh keceriaan, romantisme yang mendayu-dayu menggetarkan hati sekaligus bikin kasmaran...

Jadi, buku ini berisi sepuluh kisah nyata para ibu dalam merawat keluarganya. Misalnya aja, ada Uwak Sari yang sepenuh hati merawat Uwak Basrah yang sakit dan harus bolak balik cuci darah. Jadi kebayang kayak apa perjuangan Uwak Sari juga Uwak Basrah saat menghadapi ujian itu. Bukan hanya waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan, biaya juga nggak sedikit yang harus dikeluarkan. Banyak nahan napas pas baca kisah mereka.

Terus ada Uwak Ira yang nahan napas karena khawatir melihat kak Safa berkutat di bawah kayak pas kayaknya terbalik di air yang arusnya yang super deras. Meski kak Safa sudah ahli eskimo roll saat simulasi, tetep aja pas kayak kebalik di air yang arusnya deras beda urusan.

Ada lagi cerita tentang kak Fahmi-nya Uwak Nia yang termasuk ABK seperti Kakak Ilman. Gimana perjuangan Uwak Nia mengasuh dan mengantar kak Fahmi supaya mandiri dan bisa bersosialisasi dengan teman-teman biasa.

Juga cerita Uwak Maya yang bikin waswas karena anaknya tiba-tiba kena stroke pasca kejeduk... T_____T 

Belum lagi cerita Bude Uci yang bikin.... napas sempat berhenti. Bunda nggak kuasa menuliskannya di sini. Selain jadi sop iler juga kok, malah nanti bikin mewek. Mending baca sendiri aja.

Nggak semua cerita di sini bikin sesak napas karena sedih, kok. Ada yang "ceria" seperti yang ditulis Uwak Euis, yang ceritain pengalamannya sewaktu sempat menjadi penduduk Jeddah. Atau cerita Uwak Sinta yang stres karena milih sekolah buat anaknya. Juga cerita inspiring yang bikin bersyukur banget dari cerita Uwak Hepti.

Empat bintang sangat layak Bunda persembahkan buat ibu-ibu hebat ini... ^_^

Terusin baca - Takkan Pernah Menyerah - Sari Meutia dan Emak-emak AAB

1 Mei 2013

Wishful Wednesday #5


Halo, Kakak Ilman dan Adik Zidan...

Waduh! Sudah hari Rabu lagi ini... Saatnya menguji konsistensi Bunda dalam ikut serta meme tante Astrid, nih... XD

Apa, ya, kali ini?

Hmm... Bunda jadi teringat review aki Hippo di Goodreads. Trus, entah karena reviewnya yang memang lucu atau bukunya sendiri emang demikian adanya, Bunda jadi kepingin punya. Yah, memang sih, ini buku tentang perempuan. Tapi buktinya, aki aja baca, berarti kan ga terlalu gimana-gimana... *bukan anti buku perempuan, sih*.

Maka, untuk meme Wishful Wednesday yang kelima ini, Bunda memutuskan untuk menghadirkan Annapurna - Arlene Blum sebagai salah satu idaman Bunda... :D


Ini dia sinopsis singkat yang Bunda ambil dari Goodreads:   
<
In August 1978, thirteen women left San Francisco for the Nepal Himalaya to make history as the first Americans—and the first women—to scale the treacherous slopes of Annapurna I, the world’s tenth highest peak. Expedition leader Arlene Blum here tells their dramatic story: the logistical problems, storms, and hazardous ice climbing; the conflicts and reconciliations within the team; the terror of avalanches that threatened to sweep away camps and climbers.
On October 15, two women and two Sherpas at last stood on the summit—but the celebration was cut short, for two days later, the two women of the second summit team fell to their deaths.
Never before has such an account of mountaineering triumph and tragedy been told from a woman’s point of view. By proving that women had the skill, strength, and courage necessary to make this difficult and dangerous climb, the 1978 Women's Himalayan Expedition’s accomplishment had a positive impact around the world, changing perceptions about women’s abilities in sports and other arenas. And Annapurna: A Woman’s Place has become an acknowledged classic in the annals of women’s achievements—a story of challenge and commitment told with passion, humor, and unflinching honesty.
>

Sepertinya menarik, ya? Boleh, dong, Bunda kepingin... hihihi... Bentar lagi Bunda ultah, kan... #modus :P

Buat teman-teman Bunda yang lain yang mau ikutan ngayal, ngarep, dan lain-lain mengenai buku dan mau ngungkapin juga di blog masing-masing...
  1. Silakan follow blog Books To Share    
  2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!    
  3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting
  4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Terusin baca - Wishful Wednesday #5

29 Apr 2013

[posting bareng] Memory and Destiny


Judul: Memory and Destiny
Penulis: Yunisa KD
Editor: Hetih Rusli
Co Editor: Raya Fitrah
Foto sampul: Jose AS Reyes
Diterbitkan oleh: PT Gramedia Pustaka Utama
April, 2010
Jumlah halaman: 264 hlm, 18 cm
ISBN: 978-979-22-5658-1


Memory and Destiny. Kisah cinta dua dunia. Apakah teman khayalan itu benar-benar ada? Ataukah itu malaikat pelindung anak kecil?

Maroon Winata, calon dokter, yakin bahwa Donald-nya benar-benar ada. Sejak pertemuan pertama di Westminster Abbey, pada hari terakhir Maroon kecil di kota London, sampai Maroon di Jakarta dan berjuang menyesuaikan diri dari lidah bule ke bahasa ibunya, Donald adalah teman bermain dan belajar.

Maroon dan Donald dewasa bertemu, namun mereka belum menemukan tali penghubung memory masa lalu mereka. Nasib mempermainkan mereka. Lalu muncullah David yang tampan dan kaya. Lelaki itu percaya destiny telah mempertemukannya dengan Maroon. Memory dan destiny dalam hidup Maroon pada akhirnya menunjukkan bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya. (dari cover belakang)


Disclaimer: Postingan ini penuh spoiler. Kalo nggak suka, lebih baik ga usah dibaca aja. Kayaknya bukan review juga, sih. Lebih ke curhat pribadi?

Pertama: saya posting pandangan saya tentang buku ini, tepat di hari di mana BBI mengadakan #postingbareng dalam rangka Hari Kartini. Yes, saya menghormati mbak YKD sebagai perempuan, penulis perempuan, yang tentunya beliau paham banget, dong, siapa ibu Kartini. Mbak YKD masih orang Indonesia sejati, tentunya. Btw, selamat, ya, sudah menjadi ibu... :) #initulusloh

Kedua: saya tahu, saya sudah diperingatkan jangan membaca buku ini. Buang waktu. Ngabisin emosi dan lain-lain. Tapi, yah, saya orangnya emang nggak bisa dilarang. Semakin dilarang, saya semakin nekat mencoba. Dan saya menceburkan diri ke dalam lingkaran setan yang tak sengaja terbentuk, yaitu masuk ke dalam rantai pinjam meminjam buku legendaris milik seorang dokter baik hati yang unyu, idola saya. Habis saya, giliran siapa, bu Dokter?

Ketiga: saya mau berterima kasih pada mbak YKD. Karena mbak Yunisa lah, saya jadi kenal dengan bu dokter yang review-reviewnya kemudian selalu menjadi favorit saya. Sungguh, di balik hujatan-hujatan, karya mbak YKD telah mendekatkan saya dengan banyak pembaca di Indonesia ini. #terharu #pelukYKD

Keempat: saya mau memberi penghargaan kepada mbak YKD dengan memposting review curhatan saya di hari ini, sebagai penulis perempuan. Beneran, deh, Mbak, ini bukan hinaan. Karena mbak YKD-lah, saya jadi kenal banyak pembaca di Indonesia. Kami jadi bahu membahu. Kami jadi saling pengertian. Sungguh, jasamu akan selalu kukenang, karena telah membuat kami menjadi akrab. Semakin dekat. Ternyata, bukan UUD 45 atau Sumpah Pemuda 1928 yang membuat pembaca Indonesia bersatu. Melainkan Memory & Destiny karya Yunisa KD. *menjura*

Udah, ya, Mbak. Nggak usah banyak-banyak. Empat alasan udah lebih dari cukup. Saya nggak pernah nulis alasan-alasan kenapa saya mau baca buku di review saya. Terkheuseus mbak YKD aja, saya mau menuliskannya. 

Terus terang, sebetulnya saya malu karena ketinggalan jaman. Orang-orang udah baca buku Obsesi dan De Javu, saya malah baru menyelesaikan Memory & Destiny. Ke mana ajaaa.... Yah.. gimana, ya, Mbak. Kecepatan baca saya tuh, bisa disamakan dengan kecepatan kura-kura kalo berjalan. Alon-alon asal kelakon. Padahal, pasang target baca tiap tahunnya, tuh. Memalukan, ya? Tapi gimana lagi. Saya ini ibu yang bekerja di luar rumah. Nyampe rumah, saya sibuk dengan anak-anak. Begitu anak-anak tidur, saya sibuk sama cucian. Atau kadang saya ikutan melungker karena udah kecapekan. Kebetulan, anak saya yang gede, sering tantrum. Jadi, yah, butuh energi gede-gedean buat menghadapinya. Capek lahir batin, sih. Tapi ya gapapa. Resiko jadi ibu :D Akibatnya cuma satu: ngaruh ke kecepatan baca saya yang semakin merayap seperti kura-kura.

Lalu, Mbak YKD akan bilang: "Apa? Anak udah gede dibiarin tantrum? Nggak didisiplinin? Harusnya, bisa, dong, mendidik anak supaya jadi anak super. Luar biasa. Seperti anakku kelak! Anakku akan kubentuk jadi anak super jenius. Pantang tuh, udah lebih dari umur 6 tahun masih tantrum! Anak seumuran itu, harus sudah les piano, aritmatika, kalo perlu, les programming, supaya bisa jadi hacker sebelum usianya 10 tahun! [murni halusinasi saya]

Saya akan ngeles begini, "Mbak, kebetulan, saya dianugerahi gifted child. Putra saya yang pertama termasuk berkebutuhan khusus. Dokter bilang sih, asperger. Sepintas, mirip sama autis. Cuma banyak bedanya. Saya nggak akan ceritain di sini karena butuh satu postingan sendiri buat bahas. Kalo mbak ada di posisi saya, mungkin bisa tahu rasanya lelah lahir batin tuh kayak apa. Jadi, mengajarinya toilet training pun mungkin sama susahnya dengan mengajari bahasa C++ buat anak SD."

STOP! Kenapa malah curhat di sini! #selfkeplak

Balik lagi! Saya nulis di sini kan buat mengemukakan pendapat saya mengenai buku MD... Ish... malah menuh-menuhin setengah halaman buat curhat... #toyorpeni

Oke... ini pendapat saya...

Err... sebelumnya, saya sependapat sama pepatah "curiosity could kill a cat". Cuma, setelah dengar lagu Jason Mraz - Mr. Curiosity, saya berubah pikiran. Di sana ada lirik begini...

Hey, Mr. Curiosity
Is it true what they've been saying about you
Well are you killing me?
You took care of the cat already
And for those who think it's heavy
Is it the truth or is it only gossip
Call it mystery or anything
Oh just as long as you call me
I sent the message on
did you get it when I left it
Said well this catastrophic event
It wasn't meant to mean no harm
But to think there's nothing wrong is a problem, oh

Jadi... sepertinya, saya yang dibuat penasaran merasa sedang disiksa oleh tulisanmu, Mbak. Apa, ya, yang membuat saya nekat menceburkan diri ke dalam lingkaran setan pertemanan ini? Mungkin karena saya banyak dilarang, makanya saya pengen melanggar. Mungkin, karena Mr. Curiosity tidak pernah membunuh kucing karena penasaran, jadinya saya yang tersiksa. 

Mungkin, ya, kalo seandainya mbak YKD nggak pake tahun cerita ini berlangsung, semisal 2013 *yang mana saat buku ini terbit masih 3 tahun sebelumnya, kan*, saya akan menikmati aja. Misalnya, nih... Soalnya, untuk setting tahun 2013 yang ternyata udah high tech, biasanya orang-orang yang nulis cerita, katakanlah, bersetting tahun 2011 atau 2012 sekalipun, nyebut ada sosmed semacam Facebook, Twitter atau minimal ada lah disebut gadget gitu. iPhone, kek, blackberry kek. Karena terus terang, saya baca Twenties Girl aja yang dipublish tahun 2009 aja, udah ngomongin semacam blackberry, lho. Ini, kok? Asli nggak ada data yang mendukung kalo cerita sedang berlangsung di tahun 2013 :D

Misalnya, nih, ya.. sewaktu Maroon ketemu sama Donald nggak sengaja, di Westminster Abbey. Itu, lho, yang cuma ketemu beberapa menit itu. You name it as destiny, kan, mbak... Kalo saya, sih, ya, misalnya, ngerasa banget kalo Donald destiny saya, saya akan pake yang namanya engine search, lho, mbak. Googling nama Donald. Wait. Saya lupa nama belakang Donald, mbak. Tapi kayaknya kalo dia narsis dan senang ninggalin jejak, pasti ada deh, kalo gugling pake nama Donald, Westminster Abbey. Siapa tahu, dia punya akun Path yang disinkronkan ke Foursquare. Trus, dia check in gitu di Westminster Abbey, sambil nulis, "aku telah bertemu seseorang yang menjadi destiny-ku di tempat ini. Maroon. Rasanya aku pernah bertemu dengannya di masa lalu." [2010 udah ada 4sq, deh, Mbak. Dan mestinya, sih, si Donald kenal sama apps Path :P]


Intinya, ini saran saya, ya, Mbak, kalo mau bikin setting cerita bertahun-tahun ke depan, kayaknya mbak mesti bisa memperkirakan sekalian teknologi yang bakalan jadi makanan sehari-hari di tahun-tahun itu, Mbak. Kalo nggak bisa, mending ga usah pake setting tahun yang pasti sekalian. Asli, gengges.

Terus, untuk mbak YKD yang umurnya jauh lebih muda dari saya, saya agak bingung dengan pemakaian kata-kata mbak di novel ini. Bukan saya mau bandingin, ya, cuma nih, dibanding dengan penulis seniormu, katakanlah mbak Primadona Angela, pemilihan kata-kata yang Mbak ambil di novel ini, terlalu jadul. Terlalu puitis. Saya kayak time traveling ke masa-masa ibu saya dilahirkan, deh. Mungkin, saya berasa baca terjemahan Gone with The Wind. Sejadul itu? Iya, Mbak. Sayangnya begitu... :(

"Sudahlah, istriku, biarkan dia beristirahat." Si suami mencekal lengan istrinya yang masih mengguncang-guncang badan anak mereka. hal 23

Udara menjelang musim panas sungguhlah menyegarkan. Kehangatan dari bola api sumber energi yang kaya akan vitamin D adalah suatu kenikmatan mewah bagi penduduk yang tinggal di negeri dingin. Tapi kini, matahari negara tropis yang sudah lama dirindukan oleh sepasang suami istri yang mulai lanjut usia ini muncul juga di negara adidaya empat musim. hal 55
"Oh, alangkah bahagianya gadis itu!" dia membatin. hal 91 --> seriously? jadul banjet! mungkin, kalo saya sih bakalan bilang, "asik bener, jadi tuh cewek." *grin*
Ada lagi yang gengges? Banyak! Contohnya, cuplikan halaman 55 barusan. Cerita tentang matahari aja bisa kayak begitu. Bola api, sumber vitamin D. Nah, di halaman awal pun udah aneh.
Sinar mentari pagi menerobos kamar dari celah terai jendela yang tidak tertutup rapat. Seorang pria di pertengahan dua puluhan, dengan rambut awut-awutan seperti singa, bangun karena merasa silau. Dia bersyukur kepada Tuhan atas sapaan sinar matahari yang kaya akan vitamin D telah membangunkannya pagi itu, di hari spesialnya, tepat dua menit sebelum jam beker berbunyi dan tepat tiga menit sebelum ibunya mengetuk pintu kamarnya. hal 7

Lalu, Mbak menyiksa saya dengan deskripsi mengenai seseorang yang terlalu dalam, mengacaukan imajinasi saya. Seperti...

Cantik. Wajahnya mulus berseri-seri, tidak berjerawat sama sekali. Matanya bulat, jernih dan bersinar seperti mata gadis kecil tokoh komik-komik Jepang. Alisnya yang hitam melengkung indah membingkai wajahnya yang rupawan. Meski tidak selancip bule tapi jelas hidungnya lebih mancung daripada kebanyakan orang-orang Asia Timur sampai Asia Tenggara. Saat dia tersenyum, geliginya yang putih berderet rapi menyembul dari bibir yang merah merekah dengan polesan lip gloss tipis. hal 59

Saat gadis itu menguraikan rambutnya yang hitam berkilau, yang kemudian dikucirnya lagi lebih tinggi membentuk sanggul berantakan, penampilannya semakin memesona. Jauh lebih memesona dari bintang iklan sampo. hal 59

Di hadapannya berdiri seorang pria Asia berusia 30-an, entah awal atau akhir - susah ditentukan karena kulitnya begitu mulus dan terawat, tanpa adanya tanda-tanda penuaan dini, apalagi tubuhnya terbilang jangkung, sekitar 185 cm. hal 59
Putra mereka, pria berusia akhir dua puluhan tampak keren dengan rambut jabrik ala Ricky Martin. Rahangnya kokoh dengan belahan dagu yang jarang dimiliki pria lain. Kulitnya tidak putih seperti cowok Jepang yang tidak pernah terkena matahari melainkan sawo matang yang membuatnya kelihatan jantan dan macho. Postur tubuhnya juga terluhat proporsional, tidak terlalu kurus seperti tren cowok Jepang masa sekarang yang tidak mau kalah dari gadis-gadis model yang cungkring. hal 87

Menjadikan novel ini semacam novel pengetahuan. Cuma entah kenapa, informasinya jadi nggak penting, Mbak. Kalo untuk urusan kedokteran, sudah dibahas secara gamblang oleh para dokter seperti bu dokter Dewi dan mbak Iyut. Kayaknya ke mereka aja, deh, analisis kesalahan medisnya. Kalo saya, terganggunya di antaranya... *menurut saya, Mbak bisa lebih hemat dan bijak pake kalimatnya*

... dengan menghadiri even-even semacam seminar yang berhubungan dengan pencernaan, hati, jantung, paru-paru, otak, dan organ-organ tubuh lainnya. hal 78

Tapi dinginnya embusan angin dari pendingin ruangan meningkatkan produksi pembuangan air dari kandung kemih. hal 79

Masih ada lagi, Mbak...
Kalimat-kalimat yang hiperbola kayak

Tapi sebelum kekuatan kosmis mengguncang keduanya dengan setruman yang dahsyat, gangguan datang." hal 61-62

"Karena aku menunggu destiny-ku."
Tawa Wiro pecah. "Oh, man! Aku tidak menyangka kalau di balik sikapmu yang dingin, kamu memiliki sisi yang romantis!" hal 65
*menunggu destiny = romantis?*

Baru segitu halaman aja, saya udah jambak-jambak rambut saya, Mbak. Trus, saya nggak sanggup nulisin lagi, tapi yang jelas, buku biru legendaris punya bu dokter Dewi yang pindah satu tangan ke tangan lain ini, penuh tempelan post it dari saya. Tadinya, saya berencana mindahin ke blog ini. Tapi apa daya, saya nggak mampu. Masih ada kerjaan lain yang menunggu. Buat nulis curhat ini aja udah seharian penuh, nih... #lebay. Cuma sebagai bukti, Mbak bisa lihat gambarnya sebagai berikut...



Itu pas persediaan stiker post it saya masih ada. Di 100 halaman terakhir, udah buru-buru aja, deh, Mbak, bacanya. Dan sayangnya, stiker post it saya keburu habis. Udah gitu, saya ga bisa nulis semuanya di sini pula #toyorpeni.

Belum lagi berkali-kali muncul statement kalo jadi dokter itu mesti pemberani, ga boleh penakut. Yah, kalo begitu memang adanya, pantesan aja, saya ga pernah lulus tes masuk FK Unpad. Karena saya sangat penakut, mbak...

Terus, ya, saya udah ga suka sama yang namanya Rhett Butler, jadi makin nggak suka karena ternyata dia ada versi Ken-nya di Barbie. Saya emang nggak suka dengan Barbie, jadi makin nggak suka karena ternyata muncul Ken versi Rhett Butler. Sori, ya, Rhett, buat saya tampan itu bukan kumis yang mentereng atau kelakuan flamboyan. Makin-makin sebel aja deh, gue ke elu, karena elu ternyata idola mama Maroon dalam bentuk boneka. -____-"

Trus, ada ketimpangan lagi, Mbak. Settingnya penuh dengan "nuansa" Inggris, Singapore, Jepang... tapi kok, ada pocong juga ya, ikutan muncul di sini. Cameo, kah? Mbak, saya nggak bisa berhenti ngakak, lho. Sumpah! Apakah pengen memunculkan Indonesia dengan tampilan pocong, mbak? Itu, lho, bagian Donald pas masih jadi hantu, eh, apa spirit, apa roh gentayangan sih? Kan ada tuh, dia bertarung lawan pocong? Epic, deh, Mbak! =))

Trus, trus.. itu... Donald teman bermain dan belajar. Setahu saya, itu bukan slogan Donald. Tapi Bobo #abaikan

Ditambah lagi pernyataan dari Mbak, bahwa untuk memahami novel ini, saya harus menonton atau menghayati Phantom of the Opera (okay, I admit it, mbak. Saya belum pernah tahu), kayaknya terlalu muluk. Saya pikir, kalo mbak tersepona sama Phantom, saya mestinya bisa merasakan keterseponaan itu, tanpa saya harus nonton Phantom of the Opera, kan? Gini, deh. Saya suka banget sama Kimura Takuya. Banget, mbak. Trus, saya suka banget perannya di film dorama Good Luck. Cara saya nularin ke orang-orang biar suka Good Luck, cuma ceritain sedikit aja. Kalo mereka nggak tertarik, ya ga masalah. Yang penting udah saya sampein, kerennya di mana. Atau ini, deh. One Litre of Tears. Saya cuma cerita sedikit, tapi orang-orang udah bisa ngebayangin sedihnya cerita itu. Sementara saya? Gagal ngebayangin kerennya Donald atau David, karena tandingannya Ken/Rhett Butler/Phantom. Lalu, mbak berusaha keras buat nampilin di sini, Donald atau David itu sangat ganteng, semisal Ken/Rhett Butler/Phantom. Sumpah, mbak, balik ke selera saya, saya mah doyannya Kimura Takuya... *jilatin screen iPin yang ada foto Kimutaku* 

Satu hal lagi, ya, Mbak. Mungkin Mbak ga suka dengan gay. Sebetulnya, dulu ya, saya benci banget. Tapi akhirnya saya bikin pengecualian. Saya punya sahabat gay. Dan saya sayang setengah mati sama dia, Mbak. Dia itu menyenangkan. Saya selalu merindukannya kalo dia nggak ada kabarnya, Mbak. Dan dia pun sayang saya. Jadi, saya agak nggak terima, kalo Mbak bikin prejudice yang bikin Mbak sebenernya nggak paham, kalo gay itu sahabat cowok yang paling ngerti perempuan. Ini saya bicara serius, lho.

Saya nyerah, deh, Mbak. Saya memang nggak berotak prima. Otak saya teflon lengket. Saking lengketnya, serasa ada Donald sedang mengintip saya somewhere. Mungkin dia bergulat dengan pocong yang konon suka ada di kebun pisang dekat rumah ortu saya, jadi si pocong ga berani mampir ke rumah buat nakut-nakutin saya. 

Cuma, bukan Peni namanya kalo dilarang nggak makin penasaran. Saya jadi penasaran dengan kelanjutan cerita ini, Mbak. Apakah ada mbak L di dalamnya? Tentu nggak, ya... Kalo mbak L tuh ada di novel mana, Mbak? Pengen tahu juga kisahnya di dalam cerita mbak...

Udah dulu, ya... saya kok mendadak tremor ini. Oh, udah siang. Udah waktunya makan siang. Semoga, saya dikasih kesempatan buat baca Obsesi dan De Javu, ya, Mbak... biar saya tahu, Olivia gedenya kayak apa. Destiny-nya dengan David-kah? Maaf, ya, saya emang kepo. Saya sekaligus menantikan novel tentang mbak L, lho. Sudah tayangkah? Kok saya nggak tahu kabarnya? Editornya dua jugakah? XD

Sekali lagi...

Terima kasih banyak buat jasa mbak YKD yang udah membuat saya kenal dengan banyak pembaca di Indonesia. Love you, Mbak! Mwah!

------------

Terlepas dari #postingbareng #BBI2013 dalam rangka #penulisperempuan, saya posting ini juga buat challenge Finding New Authors


Terusin baca - [posting bareng] Memory and Destiny

12 Jun 2012

Why Don't You Show It Verbalized?



Title: Anna and the French Kiss
Author: Stephanie Perkins
Published by: Dutton Books, a member of Penguin Group (USA)
e-book
eISBN: 978-1-101-44549-5
Published on July, 2010
268 pages
4 from 5 stars rating


Anna was looking forward to her senior year in Atlanta, where she has a great job, a loyal best friend, and a crush on the verge of becoming more. So she's less than thrilled about being shipped off to boarding school in Paris—until she meets Étienne St. Clair. Smart, charming, beautiful, Étienne has it all . . . including a serious girlfriend.

But in the City of Light, wishes have a way of coming true. Will a year of romantic near-misses end with their long-awaited French kiss? Stephanie Perkins keeps the romantic tension crackling and the attraction high in a debut guaranteed to make toes tingle and hearts melt. (source: Goodreads)

Halo, Kakak Ilman and Adik Zaidan...

Bunda have read some interesting reviews about this book on Goodreads. Some people gave this book 4-5 stars. Those scores made Bunda wanted to read it. So, Bunda choose it, after got the e-book. 

When Bunda read it, Bunda found nothing special about the story. Just an ordinary girl from Atlanta, Anna Olliphant, who new at boarding school in Paris, met a new good looking friend who is a boy and already has a girlfriend, Etienne St. Clair. St. Clair - though he seems perfect here, he has his own weakness. Bunda even can guess the ending of this story.
 
So, what made me put this book into re-read shelf?

The characters seem real. They seem alive. We can find Anna, Etienne, Meredith, Rashmi, and Josh in our daily life. The natural characters made this book feels so real. They have their casual problem like we do. Bunda love how the author created the conflicts. They are real and just not too much. Bunda love the compositions that make this book is interesting. Well done.

In this book, St. Clair is so annoying and successfully hit Bunda's nerve, so Bunda wanted to hit him. Haha. 

About the conflict between the girl and the boy, feel like reflecting my own problem in the past. It was about how hard to confess our own feeling. Or how hard to understand others' feeling, though he's sent you the signal more than once. Well, it's a common problem for girls, I think. Sometimes they could not read the signal which sent by the boys. They need it to be verbalized. And Stephanie Perkins has made it here.

Now Bunda understand why people love this book. Because, I fell in love in this book and could not put down it. 

Bunda love the cover. It's simple and eye-catching with the Eiffel tower as the background. And Bunda love Paris as the setting, it just made the story becomes perfect. And thanks to the cover designers not to put St. Clair's face, coz Bunda have own imagination about him :D

xoxo,
Bunda
Terusin baca - Why Don't You Show It Verbalized?

30 Mar 2012

Kebaikan Berbalas Kebaikan [Fatima's Good Fortune]


Judul: Keberuntungan Fatima [Fatima's Good Fortune]
Penulis: Joanne and Gerry Dyansky
Penerjemah: Susi Dwiyanti
Penyunting: Yana Nahriah Hajar
Korektor: Tisa Anggriani
Tata letak: MAB
375 halaman, 18 cm x 11 cm
Diterbitkan oleh: M-Pop (Kelompok Penerbit Matahati)
Cetakan Pertama: Maret 2011
Adult Fiction
ISBN: 602962554-3
4 dari 5 bintang

Rachida meninggalkan kampung halamannya di Djerba, Tunisia, untuk bekerja sebagai pelayan Countess Poulais du Roc di Paris. Namun, Rachida yang penuh semangat dan memiliki banyak mimpi tewas mengenaskan di rumah majikannya. Kakak kandung Rachida, Fatima, dipanggil sang Countess untuk menggantikan tempat Rachida.

Begitu tiba dari Tunisia yang indah untuk bekerja bagi Countess di Paris, Fatima langsung disergap tugas yang luar biasa banyak - mengantar anjing berjalan-jalan, berbelanja, membacakan surat kabar untuk Countess. Semua itu membuatnya kewalahan dan merasa terasing.

Tetapi sifatnya yang baik dan penyayang membuatnya bertahan di Kota Cahaya ini, dan tanpa diduga membawa keberuntungan bagi orang-orang di sekitarnya. Fatima's Good Fortune menyampaikan kisah cinta dan tekad kuat yang diwujudkan dalam kebaikan sederhana di dunia yang tak terduga ini... (dari cover belakang)


Halo, kakak Ilman dan adik Zaidan... apa kabar kalian? Yes. Udah lebih dari sebulan bunda nggak nulis di blog ini... Where have I been, ya? Cuma jalan-jalan aja, dari satu blog ke blog lain... bikin cita-cita, namun nggak tergerak untuk mewujudkannya... Haeeshhh...

Sebetulnya bunda udah lama menyelesaikan baca Fatima ini, ada lah sekitar dua minggu lalu kelar bacanya. Cuma gosipnya, BBI bikin acara posting bareng tanggal 30 Maret ini tentang women books, jadi bunda tunda dulu deh, nulisnya. Haha...

Nah, seperti yang diceritakan oleh cover belakang tadi, Fatima datang atas permintaan Countess Poulais  du Roc, untuk menggantikan almarhumah adiknya, Rachida, yang tewas karena tertimpa atap yang rubuh di apartemen majikannya. 

Berbeda dengan adiknya yang cerdas, ceria, dan cantik (halah, 3C banget), Fatima ini memiliki postur tubuh yang pendek, gemuk, serta memiliki warna bola mata yang berbeda satu sama lain. Penampilan fisik ini membuat Countess sempat kecewa. Lebih kecewa lagi, karena ternyata Fatima tidak belum memiliki kecekatan yang dimiliki Rachida. Ya iyalah, hari pertama gitu, ditimbun kerjaan seabreg, semacam menemani Emma - anjing kesayangan Countess - jalan-jalan, sambil beli espresso di Cafe Jean Valjean, dan kopi itu masih harus dalam keadaan panas ketika sampai ke rumah, dan belum lagi Fatima belum hapal sama daerah tempat tinggal barunya. Fyuuuuh... Kebayang riweuhnya...

Kemarahan Countess berbeda, ketika disadarinya bahwa Fatima ini nggak bisa membaca. Akibatnya, bisa ditebak. Fatima salah menerjemahkan catatan belanja yang diberikan Countess - walau sudah dibuatkan gambar oleh Hadley, salah satu sahabat baru Fatima yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Fatima di lantai enam apartemen itu. 

Keinginan Countess untuk mengembalikan Fatima ke negerinya batal, karena Fatima berhasil menyelamatkan Emma, yang nyaris mati. Tanpa Emma, Countess tidak punya siapa-siapa lagi, selain Didi, keponakannya. Suami Countess meninggal dalam kecelakaan yang tragis. Rockababy, anak Countess, sudah lama pergi meninggalkannya, setelah pertengkaran hebat mereka. 

Fatima yang memang bekerja untuk menabung, karena ingin menyusul suami yang telah menceraikannya, Mahmoud, ke Wisconsin, semakin hari semakin menunjukkan keterampilannya. Dia pun belajar membaca dengan Hadley.

Fatima pernah dimaki oleh Hyppolite Suget, karena Emma pernah meninggalkan kotorannya di cafe tempat Suget bekerja. Namun Fatima tidak menaruh dendam. Dan sebagai permintaan maaf, Suget mengajak Fatima berjalan-jalan ketika sedang libur.

Karena kebaikan Fatima, dia jadi punya banyak teman di tempat barunya. Semuanya ingin membantunya. Sebab, Fatima tidak pendendam dan mau membantu siapapun. Bisa ditebak, sih, sebetulnya, akhirnya gimana...

Nah, ini review bunda... semoga layak disebut review... :D

Pertama, tentang opini orang yang suka membanding-bandingkan satu sama lain. Meski Rachida dan Fatima kakak beradik, nggak berarti mereka harus sama persis, plek plek plek, kan? Nah, sayangnya, Countess berharap terlalu banyak ketika Fatima datang. Dan langsung dikasih kerjaan yang sama dengan Rachida, di awal harinya berada di Paris. Bunda jadi ingat, waktu salah satu sepupu bunda mempekerjakan pembantu yang kakak beradik. Dia membandingkan, bahwa kakaknya jauh lebih baik daripada adiknya. Tapi, ya, lumayan, lah, adiknya bisa kepake juga. Gitu, kurang lebih, katanya. 

Kedua, tentang pelayan yang berasal dari negara lain. Kakak Ilman dan adek Zaidan tentu tahu, bahwa negara kita, Indonesia, juga punya banyak pahlawan devisa, yang disebut sebagai Tenaga Kerja Indonesia atau TKI? Nggak tahu kenapa, khusus untuk perempuan ada istilah Tenaga Kerja Wanita alias TKW, sementara untuk kaum lelakinya nggak ada istilah Tenaga Kerja Pria atau TKP. Singkatan TKP justru dipakai untuk akronim Tempat Kejadian Perkara. #kriuk
Bunda baru tahu dari buku ini, kalo Tunisia juga menghasilkan TKW yang diekspor ke berbagai negara, termasuk Perancis. Kelihatannya, sama saja dengan di Indonesia, perlindungan warga negara Tunisia yang bekerja sebagai TKW di negara lain, kurang mendapatkan perhatian dari pemerintahnya. Di Indonesia, TKW yang bekerja di luar negeri yang disiksa, bahkan dibunuh oleh majikannya, kurang mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Mengenaskan, ya. Padahal mereka mendapat gelar sebagai "pahlawan devisa negara". Miris banget. Tampaknya pemerintah baru bergerak kalo udah dioprak-oprak orang-orang lewat media. Gemes banget, deh, kalo udah begini...

Nah, sekarang yang ketiga. Tentang ceritanya. Bunda suka ceritanya. Mengalir dan terkait satu sama lain dengan jelas. Meski terkadang, alurnya pindah-pindah, tapi nggak mengganggu. Sebab, alur yang berpindah-pindah ini mampu menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang ada ketika membaca. Namun, berhubung bunda nggak belum bisa berbahasa Perancis, bingung juga memahami kutipan bahasa Perancisnya. Plus, nggak ada footnote yang menjelaskannya. Jadi, yah, kurang lebih, menginterpretasikan sendiri, deh... tahu sendiri, kan, kalo menginterpretasikan sendiri, bisa ke mana-mana arahnya? *keluh*

Keempat. Karakter. Ada banyaaaaaaaaaak sekali karakter di dalam buku ini. Plus, nama mereka lumayan susah, terutama yang bernama Perancis. Bunda cuma bisa mengingat beberapa nama karakter di dalam cerita ini, terutama yang paling sering disebut. Semisal Countess, Suget, Hadley, Didi, Emma, Carmen, Angel, Monsiour Robert, dan sebagainya, dan sebagainya.... Jadi, akibat "kebolotan" bunda ini, kadang kudu bolak balik halaman, untuk mengingat lagi, ini siapa, ya? Hubungannya apa, ya? Dia tadi ngapain, ya? Gitu... hehe... Tapi, ke semua karakter ini punya hubungan satu sama lain. Jadi, yah, seperti di poin ketiga tadi, ceritanya mengalir. 

Kelima, setting. Dengan mengambil setting kota Paris, Perancis, di sini ada banyak informasi tentang kota ini. Misalnya tentang pemakaman di sana, sistem transportasi di sana, keadaan jalan raya di sana, dan masih banyak lagi informasi yang bisa bunda dapatkan dari buku ini. So, bunda bisa membayangkan kayak apa, sih, salah satu sudut kota Paris itu, meski belum pernah ke sana...
Keenam, moral ceritanya. Pesan di dalam cerita ini kuat banget, meski agak membosankan, karena kita tahu. Berhubung desain ceritanya kayak kehidupan sehari-hari, pesan moralnya terangkat dengan baik. Kebaikan dibalas dengan kebaikan. Bunda sih percaya, masih ada banyaaaaaaak orang-orang baik yang tulus di dunia ini. Semoga, kita salah satunya, ya... Hehe...
Ketujuh. Sampul alias cover. Terus terang, dari judul sama gambar sampul, rada "menipu". Kenapa? Soalnya, di sampulnya terlihat tampak seperti chicklit, padahal bukan. Hehehe. Tapi bunda suka desain sampulnya, jujur aja. Hanya saja, teks di bagian belakang, warna fontnya  nggak kontras dengan gambar sampul belakang. Bunda susah payah membaca bagian belakang bukunya. Padahal, itu kan sinopsis buku ini. Ya penting, tentu saja. 

Nah, dari ketujuh point di atas, bunda kasih bintang 4 dari 5 bintang. Mungkin kalo bukunya bakalan cetul alias cetak ulang, poin ke-6 dan poin ke-3 (yang tentang bahasa Perancisnya) sebaiknya diperhatikan, karena ini buku bagus, walau nggak bisa dibilang buku ringan, tapi buku ini menghibur, menginspirasi, sekaligus memberi informasi. Bunda sempat hanyut dalam perasaan Fatima, karena di saat yang sama, bunda sempat merasa sama nggak beruntungnya kayak Fatima. Halah! Recommended-kah buku ini untuk dibaca para perempuan? Yup! Ini buku bagus!
Terusin baca - Kebaikan Berbalas Kebaikan [Fatima's Good Fortune]