Judul: Sepotong Kata Maaf
Penulis: Yunisa KD
Editor: Anin Patrajuangga
Desainer Cover: Steffi
Penata isi: Phiy
Diterbitkan oleh PT Grasindo
Cetakan pertama 2013
Jumlah halaman: 304 hal
Genre: Novel, Fiksi Kontemporer, Time travel, Woman, Semi-thriller
ISBN: 978-602-251-132-8
Status: Punya. Beli di Hobby Buku Online Bookshop
Harga: IDR 53,000
Ini adalah kisah nyata seorang gadis yang menolak untuk meminta maaf meskipun telah berulang kali diajukan permintaan resmi agar ia melakukannya. Dia meninggal 7 kali oleh pena seorang novelis. Itulah cara ringan untuk merangkum cerita ini.
Dalam dimensi yang berbeda, hidup memang seperti persamaan Matematika: ada berbagai variabel dan konstanta. Kematian seorang gadis bermoto "Maaf tampaknya adalah kata tersulit", itulah sang konstanta.
Halo, Kakak Ilman dan Adik Zaidan...
Kelar juga baca buku ini setelah mandek lama. Hehe...
Sama penulisnya, buku ini digadang sebagai buku yang berdasarkan kisah nyata, pengalaman penulisnya sendiri. Konon, sneak peek-nya sering beredar di fanpage penulis. Cuma Bunda nggak ngikutin, sih, jadi ga begitu tau. Takutnya, kalo Bunda terlalu tahu cerita hidup penulis, Bunda nggak netral lagi dalam mereview bukunya. Bunda nggak tertarik dengan kehidupan pribadi penulis, makanya nggak follow twitternya maupun gabung di fanpagenya. Dengan begitu, Bunda bisa baca novel yang ini ya apa adanya yang tertuang di sini aja. Walaupun dibilang berdasarkan kisah nyata.
Jadi? Sepotong Kata Maaf ceritanya tentang apa?
Ceritanya bermula dari kekesalan Dewi yang pada saat acara ROM (penandatanganan perjanjian pernikahan) mesti menyaksikan suaminya, Jeremy Subroto, berfoto dengan sahabatnya, Lisa Hisman ~yang kemudian diberi julukan "ganjen"~ tanpa mempelai perempuan. Yang menambah kekesalan Dewi adalah posisi Lisa yang teramat dekat dengan Jeremy yang hanya tersisa sedikit aja ruang sehingga mereka nyaris nempel. Jeremy yang menganggap Lisa adalah sahabatnya, tentu nggak ngeh dengan kekesalan Dewi. Menurut Jeremy, ini wajar aja, karena mereka bersahabat. Sementara menurut Dewi, keluarga Dewi dan teman-teman Dewi, pose foto berdua seperti itu, tanpa mempelai wanita juga, bikin geger dan geram.
Dari situ, cerita berkembang ke berbagai alternatif kematian Lisa Hisman di dimensi yang berbeda. Gimana cara? Pake mesin waktu, dong...
Di cerita awal, Lisa dan Armand akan melangsungkan pernikahan, tapi gereja tempat mereka menikah dibom. Kemudian, Jeremy yang jenius itu, masuk ke mesin waktu ciptaannya untuk mencegah pengeboman terjadi, karena niatnya sih, menyelamatkan orang lain yang ga bersalah. Kalo Lisa doang yang mati ya biar aja. Kurang lebih gitu. Maka dimulailah kisah petualangan Jeremy Subroto melintasi berbagai dimensi lewat mesin waktu yang ternyata nyasar melulu. Yang jelas, ini bikin penulis leluasa membunuh Lisa Hisman di berbagai dimensi waktu dengan berbagai alternatif cara kematian :D
Kabarnya, sih, ini emang kisah nyata penulis pada saat dia dan suaminya meresmikan pernikahan mereka. Jadi, anggaplah, ini novel balas dendam buat mbak Lisa (nama sebenarnya) yang sudah membuat penulis murka.
Sebetulnya, ide time travel itu udah nggak aneh, sih. Jadi ya nggak ada yang istimewa banget dari novel ini. Yang jelas, sih, aura dendamnya nyampe banget ke pembaca. Kelewatan aja, sih, menurut Bunda... Dengan kata lain: lebay banget dendam kesumatnya.
Beberapa catatan yang sempet Bunda simpan tentang buku ini, ya...
1. Kalo dari sisi ide, terus terang Bunda nggak suka, apalagi "inspired from true story". Karena penulis memang berniat membunuh seorang Lisa Hisman di dalam novelnya sampai tujuh kali. Well, oke. Merasa kesal, benci karena seseorang telah "melukai" perasaan kita tuh wajar. Tapi, jauh lebih baik memaafkan duluan daripada "mengemis" permintaan maaf dari orang lain dan ketika permohonan maaf nggak kunjung datang, lalu memutuskan "membunuh" orang yang dibenci (meski) dalam bentuk cerita fiksi dalam berbagai alternatif itu cuma membuat penulis terlihat sama sekali nggak bermartabat. Sorry to say.
2. Bunda juga pernah merasa cemburu atau kesal sama orang. Tapi, Bunda percaya, memaafkan lebih dulu itu lebih bikin legowo dan nggak kepikiran, kok. Hidup jadi tenang dan nggak penuh dendam. Tips dari Bunda, daripada membenci seseorang lebih baik mengabaikan orang yang (tadinya) kita benci aja. Lebih enak dan ga musingin ke kitanya. Beneran, deh! Cobain aja. Ignorance is bliss :D
3. Dari sisi penceritaan. Hmm.. nggak ada yang berubah, sih, dibanding buku biru legendaris penulis. Apalagi kalo yang dimaksud dengan karakter Dewi di sini adalah penulis itu sendiri. Aura narsisnya udah over dosis, jauh melampaui narsisaurus syndrome-nya Gilderoy Lockhart. Bayangin narsisnya si Gilderoy Lockhart aja udah bikin muak, maka kalo ada orang lain yang narsisnya melampaui beliau, silakan takar sendiri standar kemuakan kalian.
4. Deskripsi karakter utama yang terus menerus diulang, bikin 300 halaman buku terasa seperti pemborosan. Karena, kayaknya kalo bisa dilangsingin, 150 halaman juga kelar. Bunda coba bandingkan cara penulis lain yang bukunya Bunda baca dan beberapa udah Bunda review di antaranya, rata-rata mereka nggak saklek mendeskripsikan karakter utama mereka kayak gimana. Ngalir aja di cerita, tapi kita sebagai pembaca, bisa langsung ngebayangin dan punya imajinasi sendiri mengenai karakter di cerita itu. Nggak rusak oleh deskripsi yang bener-bener text book dari penulis.
Sebagai contoh, semua pembaca serial Harry Potter pasti tahu gimana cerdasnya Hermione Ginger tanpa perlu disebutin berkali-kali kalo Hermione itu pinter, genius, penghafal cepat dan pelahap buku. Semua muncul lewat dialog-dialog yang cerdas dan ide-ide yang dicetuskan Hermione ketika mereka menghadapi masalah.
Atau, karakter Amal di buku Does My Head Look Big in This? Meski nggak disebutin segimana cantik, cerdas, penuh sopan santun dan punya kebaikan hati yang luar biasanya Amal, kita bisa tahu gitu aja (atau minimal ngebayangin, deh) melalui semua dialog dan ceritanya.
Masih banyak deh yang lainnya. Termasuk gimana kita bisa ngebayangin gantengnya Christian Grey di FSOG. Ga perlu deskripsi lengkap banget yang bakalan menghancurkan imajinasi pembaca.
Sementara di buku ini, penulis kek pengen ngasi tau pembacanya berulang-ulang, kalo Dewi itu cantik, sempurna, punya buah dada yang menggemaskan, pintar, kaya, tahu sopan santun, punya tata krama dan seterusnya.
5. Sebentar. Tadi Bunda bilang, berkali-kali disebutin Dewi itu cantik, sempurna, punya buah dada yang menggemaskan, pintar, kaya, tahu sopan santun, punya tata krama dan seterusnya, kan? Nah. Kalo iya, tahu sopan santun, punya tata krama, ini ada sesuatu yang bikin Bunda agak sakit kepala.
Dewi ini berkali-kali mengomeli suaminya dengan kata-kata, "kamu ini goblok atau goblok, sih, Mi?" Kalo seorang Dewi adalah seperti yang disebutkan berulang-ulang di atas, lalu bisa nyebut suaminya goblok berulang-ulang setiap dia merasa kesal pada suaminya yang kurang peka sama perasaannya, terutama terhadap kekesalannya pada Lisa Hisman, lalu gimana dengan perilaku orang yang nggak punya tata krama dan sopan santun, ya? *headspin*
6. Penulis berusaha keras banget buat terlihat kalo dia banyak banget pengetahuannya dengan memasukkan berbagai quote yang kadang nggak nyambung dengan konteks cerita. Trus, udah gitu, seakan-akan pengen bilang, bahwa pembacanya bodoh ga sepintar dia, ditulislah dua bahasa itu quote. Too much information, I guess.
7. Mengenai kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" yang oleh penulis disebut sebagai common phrase di Indonesia, rasanya Bunda harus luruskan dulu. Semoga ini memang karena ketidak tahuan penulis. Masukan Bunda buat penulis adalah penulis mau berteman dengan orang-orang penganut agama Islam, jadi bisa diskusi, minimal nanya-nanya, terutama yang berkaitan dengan doa.
Kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" adalah kalimat yang harus diucapkan (umat Muslim) ketika mendengar ada orang lain mendapat musibah atau dirinya sendiri mengalami musibah. Arti dari kalimat "innalillaahi wa inna ilaihi raaji'uun" adalah "to Allah we belong and to Allah we will return/kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah."
Bolehlah sebut ini novel fiksi. Biarpun ini fiksi, menurut Bunda, sefiksi-fiksinya fiksi, tetep aja kalo ada informasi yang akurat tetep ga boleh dibelokin. Bunda banyak belajar dari komik atau novel. Jadi, sebaiknya emang informasi sepenting itu masuk sebagai bahan informasi buat pembaca, walau pun ceritanya fiktif. Kan penulisnya katanya pinter banget. Pasti risetnya udah dalem banget, dong, ya...
8. Bunda masih nggak habis pikir, kenapa Dewi bisa sedendam ini sampai "ngemis" dan melakukan berbagai cara supaya Lisa Hisman minta maaf. Kalo Lisa-nya nggak ngerasa berbuat salah, ya udahlah. Biarin aja. Tapi kalo sampai dibunuh dengan berbagai variasi, mending bikin novel thriller dengan judul "Tujuh Alternatif Pembunuhan Lisa Hisman", bukannya "Sepotong Kata Maaf".
9. Untuk ide masuk ke berbagai dimensi, okelah. Bolehlah. Tapi, kenapa hampir di semua dimensi yang bukan dimensi sebenarnya itu, Roger Gunawan muncul sebagai suami Dewi? Kok, kesannya, Dewi nyesel nikah sama Jeremy Subroto, ya? Kesannya, penulis pengen banget menikah dengan Roger Gunawan - if he is existing in this world. Atau emang ada orangnya? Soalnya dengan nulis nama semua karakter mirip dengan aslinya, apa itu nggak menyinggung perasaan suaminya? Sebelum menikah sampai sekarang, Bunda selalu dinasihati untuk menjaga perasaan suami, bertutur kata yang baik pada suami. Lah ini? Suami digoblok-goblok. Semoga kalian berdua kelak dapat istri yang selalu memuliakan suaminya. Aamiin. Biar pun Dewi secantik bidadari, kalo kata-katanya bau begitu... errrr... masih bisa disebut cantik dan sempurna?
10. Masih bingung dengan pola pikir Jeremy mau pun Roger sebagai laki-laki di dalam cerita ini. Gimana, ya. Boleh, deh, Bunda disebut ganjen atau genit karena mayoritas teman Bunda adalah laki-laki. Tapi keuntungan dari punya banyak teman laki-laki adalah: Bunda memahami cara berpikir mereka yang sama sekali beda banget dengan cara berpikir cewek. Tapi di cerita ini, cara berpikir semua orang di karakter, kecuali Lisa Hisman tentunya, sama banget dengan cara berpikir Dewi, termasuk cara berpikir para pria yang pro ke Dewi semuanya. Bunda sih, percaya dengan peribahasa Indonesia yang bilang, "lain ladang, lain belalang. lain lubuk lain ikannya." Jadi, beda orang ya beda isi kepalanya. Mau punya pengalaman yang sama persis plek kek apa pun, tetep aja pasti ada perbedaan pendapat dan cara berpikir. Apa lagi kalo makhluk bernama cowok itu datengnya dari Mars dan cewek itu datengnya dari Venus. Dua planet yang berbeda, kan? *apa maksudnya, coba?*
11. Salut sama pemakaian kata "menyeleweng" (sounds jadul, tuwek banget) sementara kebanyakan orang sekarang nulis kata "selingkuh" :D
12. Di akhir buku, sih, akhirnya Dewi bilang ke Jeremy nggak usah berusaha memperbaiki keadaan. Intinya, dia udah nerima gimana "keukeuhnya" Lisa yang nggak merasa bersalah berikut permohonan maaf yang ga kunjung dateng. Tapi, tetep aja, Lisa-nya dibikin mati yang otomatis nggak jadi menikah dengan Armand. Cuma agak bingung juga, di dimensi ke-7 tuh maksudnya Jeremy pulang ke dimensi asal apa gimana, sih? Soalnya kalo pulang, mestinya ga ke dimensi ke-7, dong? Apa ini maksudnya Jeremy dateng ke Jeremy di dimensi lain? Blunder :D
Tapi kesan yang ditinggalkan di akhir dimensi ini ditutup dengan manis banget, menunjukkan Dewi yang nggak mau memusingkan perkara Lisa lagi, yang udah lalu biarlah berlalu. Meski tetep, Lisa dibuat mati di sini, plus, dipermalukan (dikasih nama Tante Ganjen) di depan anak-anaknya yang sudah besar dengan alasan sebagai contoh. Kalo suatu saat Bunda mau nasihatin kalian mengenai memilih perempuan yang baik, Bunda nggak akan buka aib orang lain. Bunda akan kasih case aja, nggak perlu memperlihatkan foto-foto kenangan buruk yang tersimpan berabad-abad. Itu sama aja dengan menyimpan dendam dan mewariskan dendam pada anak-anak Bunda. Never. Bunda pun nggak pernah akan ngasih tau kalian kalo semisal Bunda punya orang yang Bunda benci. Karena rasa benci itu menular.
13. Sekarang, kira-kira di antara kumpulan kata ini:
pintar ramah goblok cantik kaya sopan goblok santun goblok cemerlang genius goblok tampan cerdas goblok lintas waktu goblok miliarder sempurna goblok tinggi menjulang goblok
sensasi apa yang kalian dapatkan saat baca kumpulan kata di atas? Kata apa yang bakalan paling nempel di kepala kalian saat membacanya? Kurang lebih, seperti itulah sensasi saat membaca novel ini.
14. Apakah review Bunda ini negatif? Hmm... terus terang, ya, suka heran kenapa review yang sifatnya mengkritik itu, kok, sama penulis dibilang review negatif dan yang nge-reviewnya dianggap haters? Karena Bunda bukan hater penulis, meski bukan juga fans berat penulis, Bunda benci kalo seandainya penulis sempat baca review Bunda ini langsung ngecap Bunda termasuk haters-nya. Daripada membenci orang, Bunda lebih suka mengabaikan orang. Membenci itu menguras energi. Keingetan terus dan bahkan malah jadi kenal lebih banyak, jauh lebih banyak dari porsi semestinya ketika membenci orang. Makanya, Bunda memilih mengabaikan ketika Bunda nggak suka sama orang lain. Jadi, energi Bunda ga perlu habis mikirin orang itu. Mending mikirin yang indah-indah aja dan menikmati semua yang indah daripada hidup penuh kebencian. Capek, bow...
Bunda nggak pernah bermaksud menulis review negatif. Dan ga pernah mendaftarkan diri jadi haters fanatiknya. Tapi apa yang Bunda tulis di atas hanya catatan Bunda mengenai apa yang udah Bunda baca aja dan cukup ngeganjel. Gitu aja, sih. Bunda tipe orang yang kalo suka akan bilang suka, kalo ga suka ya bilang ga suka. Titik. Yang jelas, Bunda baca dari awal sampai habis, bukan untuk menyerang penulisnya. Emang murni pengen baca. Titik.
Penulis yang baik akan nerima review sepedas apa pun dari pembacanya dan ga ngecap, "cuma pembaca". Jadi pembaca itu repot juga, kok. Bunda ngemodal buat beli buku ini. Pake ongkos kirim. Sampulnya beli juga. Bacanya makan waktu juga, karena perlu mood bener-bener baik biar ga marah-marah saat baca buku ini, karena seperti penulisnya bilang di blognya, "Orang yang baru pertama kali baca novelku bilang mereka suka banget, bukunya mudah dibaca, bisa merasakan emosi, bisa tertawa dan misuh-misuh saat membaca." Jujurly, kalimat yang Bunda tebalkan benar adanya. Bunda bisa tertawa dan misuh-misuh saat membaca, kok. Hihihi. Misuh-misuhnya bukan karena gemas pada Lisa atau Jeremy melainkan oleh pola pikir penulis. Tertawa karena apa, ya? Menertawakan kenarsisan penulis, mungkin? :D
15. Bunda nggak akan bertanya-tanya kenapa buku ini bisa ikut terpilih untuk diterbitkan di lomba Grasindo - Publisher Seeking Author (PSA) dari 630 naskah yang masuk. Bunda juga nggak akan mempertanyakan kriteria panitia. Tapi kalo naskah kayak gini bisa lolos, gimana dengan naskah yang ga lolos, ya?
16. Agak bingung dengan blurb-nya. Kok nggak nyambung sama keseluruhan cerita.
All in all, ma kasih buat penulis yang sudah meramaikan kancah pernovelan Indonesia. Termasuk segala kehebohan yang pernah ditimbulkan. Belajar dari novel ini, memaafkan itu jauh lebih simpel dan mulia ketimbang berharap orang lain menyadari kesalahannya pada kita sampai membuat kita berkali-kali memberi teguran supaya yang bersangkutan minta maaf (apalagi pake cara formal banget) bahkan sampe pengen membunuhnya sebanyak tujuh kali, meski itu hanya di dalam imajinasi. Heuheu... Demikianlah kisah Bunda bersama Sepotong Kata Maaf.
Pesan Bunda, sih, simpel aja. Kalo orang lain yang bersalah ke kita ga mau minta maaf, maafin aja duluan. Pahalanya lebih gede, kok, insya Allah. Daripada dendam sampe pengen matiin. Duh, kayak orang nggak bermartabat aja...
Love you both... Cheers...
Sempet liat buku ini beberapa kali di sale Gramedia tapi ga minat beli *walau ada rasa penasaran karena legenda penulisnya*. Baru tau soal mesin waktunya. Hah?? Kok absurd banget ya teh?
BalasHapusbeli aja, Nana. kan, 100% royaltinya buat PMI. jadi, Nana ga akan merasa bersalah beli buku ini, karena Nana mendukung kegiatan PMI *jadi promosi* :P
Hapusmungkin kalo Nana baca sendiri akan punya perspektif baru. hihi...
Kalo beli yang diskon Rp. 10.000 kan udah ga ada royalti lagi Teh, cuma ganti ongkos cetak penerbit. huwehehehe.
HapusBagus Teh reviewnya. Semuanya rinci, logic check kena dan masuk di akal juga.
BalasHapusKalaupun dirimu dianggap haters.. mungkin dia aslinya ngefans dan kagum padamu, tapi ga tau gimana ngungkapinnya :))
yay! reviewku dipuji Ren... *dance*
Hapusaamiin... wah, kalo dia jadi fans-ku... sujud syukur, lho... :D
Reviewnya lengkap banget mba.. dan lagi apakah hanya gara2 berfoto si Lisa nya harus dibunuh berkali-kali? ini Dewinya yang lebay atau gimana ya? eerr.. kayaknya harus diniatkan buat baca *siapin mental*
BalasHapusaku sebenernya bisa ngerasain perasaan Dewi di bagian cemburunya. suami berfoto sobat ceweknya berdua aja. ngerti banget. cuma, kemarahan yang over dosis ini bikin Dewi tampak lebay menyikapinya...
Hapusjadi inget lirik lagu Jealousy - Queen:
jealousy look at me now
jealousy you got me somehow
you gave me no warning
took me by surprise
jealousy, you lead me on
you couldn't lose, you couldn't fail
you had suspicion on my trail
how how how all my jealousy...
Lumayan panjang kalo yang ini repiu nyah
BalasHapusduren nya masih nyisa? #eh
dibelah juga belum, akiii... tapi naha, nya, duren kan mestinya dibelah. kok, kalo duren yang dikirim aki itu absurd banget statusnya... .___.
HapusTau ndak salah satu alasan aku ndak sanggup selesaiin baca buku ini?
BalasHapusKarena nama tokohnya Dewi juga. Dan walo aku tau kalo Dewi yg dimaksud bukan aku, tapi tetep aja gerah baca karakter yg namanya sama kayak aku tapi kelakuannya minta diteplak.
Biar kata sering bilang narsis juga, aku mah gak senarsis Dewi di buku ini. Dan gak segitu dengki, bossy dan menyebalkan juga. (.__.)
(Rasanya sih gitu)
*malah narsis* x))
kalo menurut pa il, setiap manusia emang terlahir narsis. tapi, cuma manusia yang bener-bener bijak yang mampu mengendalikan kenarsisannya.
Hapusnarsis wajar kok, tapi yang sedang-sedang sajalah... #ngedangdut x))
wah jangan-jangan emang terinspirasi Mbak Dewi?
Hapusentah kenapa aku merasa cerita ini kayak Puella Magi Madoka, penulis sering cerita kalo tulisannya terisnpirasi anime......
BalasHapus