Judul buku: Saga no Gabai Bāchan
(Nenek Hebat dari Saga)
Penulis: Yoshichi Shimada
Koordinator Penerjemah: Mikihiro Moriyama
Penerjemah: Indah S. Pratidina
Penyunting: Tim Khansa
Pewajah Sampul: Iksaka Banu
Pewajah Isi: Husni Kamal
Diterbitkan oleh: Mahda Books
Jumlah halaman: 264 halaman
Cetakan I: April 2012
Cetakan II: Mei 2012
ISBN: 978-602-97196-2-8
5 dari 5 bintang
Children Books
Akihiro yang kehilangan ayahnya setelah Hiroshima dibom, terpaksa
berpisah dari ibu untuk tinggal bersama neneknya di Saga. Meski[pun keluarganya
hidup prihatin, namun kehidupan di Saga satu peringkat lebih miskin. Tetapi sang
nenek selalu punya ratusan akal untuk meneruskan kehidupan dan membesarkan
cucunya.
Dengan ide-ide cemerlang sang nenek, kehidupan selalu mereka jalani
penuh tawa. Sulit memang, tapi menarik dan mengasyikkan. Namun waktu terus
berjalan dan tibalah hari ketika Akihiro harus mengambil keputusan. Dia harus
memilih antara nenek dan Saga yang dia cintai atau mengejar mimpi-mimpinya.
Diterjemahkan langsung dari Bahasa Jepang oleh Indah S. Pratidina, buku
ini membuat kita tersenyum, terenyuh, dan mungkin berpikir ulang tentang
nilai-nilai kesederhanaan.
Dalam waktu kurang dari satu tahun, buku ini telah terjual 100.000
eksemplar di negeri asalnya. Kisah Nenek
Hebat dari Saga begitu terkenal sehingga diadaptasi dalam bentuk film,
layar lebar, game maupun manga. (dari cover belakang)
“Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan
itu adalah sesuatu yang ditentukan sendiri oleh diri kita sendiri, oleh hati
kita.” – akhir dari bagian prolog.
“Hanya dengan berkata, ‘kita turun temurun miskin’ sambil membusungkan
dada, Nenek sudah menunjukkan bahwa dia mengusung cara hidup miskin garis
keras.” – halaman 67.
“Hidup itu gabungan berbagai kekuatan.” – halaman 171.
Halo, Kakak Ilman dan Adik Zidan...
Apa, sih, tolak ukur kebahagiaan seseorang? Rumah mewah? Mobil mewah? Rutin
memanjakan diri ke salon dan spa? Makan enak di restoran mewah? Liburan sebulan
sekali keliling dunia? Lalu, kalo semua itu nggak tercapai sekali saja, kita
akan merasa nelangsa? Merasa melarat?
Seperti yang diceritakan di cover belakang di atas, Akihiro yang sudah
miskin akibat bom Hiroshima dan juga kepergian sang ayah untuk selamanya, semakin
miskin lagi satu peringkat di bawah kemiskinan yang dijalaninya, ketika mulai
tinggal dengan sang nenek. Penyambutan sang nenek sewaktu Akihiro kecil sampai
di gubuknya, bukanlah pelukan atau hiburan, tapi bagaimana cara menanak nasi. Karena
mulai keesokan harinya, dialah yang akan menanak nasi. Sebab Nenek harus berangkat
bahkan sebelum subuh untuk bekerja sebagai tukang bersih-bersih.
Ide Nenek Osano tentang “supermarket” di sungai depan rumahnya cukup unik
dan hebat. Sederhana padahal. Nenek hanya memasang galah yang dapat menjaring
sampah yang melewati sungai. Di antara sampah-sampah itu, ada “sampah” yang
masih bisa digunakan. Misalnya, sayuran yang sebetulnya masih segar, tapi
karena bentuknya tidak sempurna, maka dibuang ke sungai. Nenek Osano bilang,
sayuran yang lewat sungai itu dicuci oleh air sungai, jadi sudah bersih. Timun yang
bengkok, kalo sudah diiris-iris tetap saja namanya sama: timun.
Well, sungai di Saga tempat Nenek Osano tinggal yang Bunda bayangkan,
tidak sama dengan sungai Citarum di Bandung atau Sungai Ciliwung di Jakarta
yang penuh dengan timbal, ya. Membayangkan kita memulung sayuran dari
sungai-sungai hari gini langsung membuat Bunda merasa mual. Mungkin saja,
sungai Citarum atau Ciliwung di tahun 50-an – ketika setting cerita ini berlangsung – sama bersihnya dengan sungai
tempat supermarket Nenek Osano berada.
Semua anak, Bunda rasa sama. Pengen punya sesuatu yang dibanggakan. Sama
juga dengan Akihiro kecil. Ketika dia mengagumi orang yang bermain kendo dan ingin
juga menjadi seorang atlet kendo. Dia minta izin sama neneknya, untuk ikut
latihan kendo. Awalnya, Nenek mengizinkannya. Tapi begitu tahu, bahwa harus membayar,
Nenek kemudian bilang, “lupakan saja.”
Nah, sewaktu Akihiro ingin sekali berlatih judo dan Nenek bilang, “lupakan”,
dia berusaha merayu sang nenek bahwa dia butuh olahraga. Nenek kemudian bilang
bahwa beliau punya usul, “bagaimana kalo lari saja?” Sejenak, Bunda tertawa
terbahak. Usulnya lucu sekaligus miris. Kalo memang hanya mau olahraga, kan,
bisa tuh, lari? Gratis, nggak usah bayar. Bener juga, ya.. hihi...
Karena memang Akihiro bersungguh-sungguh mau berolahraga, maka berlari
pun ditekuninya. Sehingga, setiap ada festival olahraga di sekolahnya, Akihiro
selalu memenangkan lomba atletik.
Banyak cerita-cerita lain yang menyentuh hati. Sebut saja cerita
tentang tukang tahu, tukaran bekal makan siang di hari festival olahraga atau
juga kisah acar kulit semangka. Kalo Bunda ceritakan, sih, nanti jadi spoiler. Biarlah
kalian baca sendiri, bagaimana menyentuhnya buku ini.
Intinya satu: bagaimana kita menghadapi hidup kita. Mau dengan ceria
atau terus menerus mengeluh merasa kurang? Nenek Osano memilih hidup miskin
yang ceria. Sudahlah hidup susah, masa harus makin susah dengan banyak mengeluh?
Jadi ingat. Pernah Bunda ada undangan ngumpul sama teman-teman Bunda,
di kafe yang cukup mahal harga makanan dan minumannya. Memang, sih,
semahal-mahalnya tarif di sana nggak semahal restoran berkelas yang per
hidangan bisa sampai sejuta dua juta. Tapi tetep aja, dibanding warung ramen atau
bakso malang langganan Bunda, masih jauh harganya. Hahaha. Nah, waktu itu,
Bunda sama Papa memang lagi bokek. Tapi kepaksa ke sana, karena ada keperluan sama
teman-teman Bunda. Bunda sama Papa nggak makan, karena memang udah makan di
rumah. Tapi, alamak! Buat minum aja, udah hampir dua ratus ribu...
Nah, waktu menyadari penampakan wajah Papa yang nggak suka dengan
keadaan itu, perasaan Bunda jadi nggak enak banget ke Papa saat ngumpul sama
teman-teman Bunda itu. Besok harinya, Papa negur Bunda dengan bilang, “lain
kali, kalo tahu tempat ngumpulnya mahal, nggak usah datang aja. Bukan nggak
boleh berteman. Papa juga banyak undangan ngumpul di kafe mahal. Tapi ya, Papa
mikir, lah. Uang segitu bisa buat ini dan itu yang lebih penting.”
Bulan April lalu, ramai dibicarakan tentang buku ini. Dan ramai-ramai
memberi bintang empat sampai lima. Dan ternyata, ketika buku ini akhirnya
sampai ke tangan Bunda, memang sudah cetak ulang di bulan Mei. Wow. Buku ini
banyak penggemarnya!
Memang wajar dan sudah seharusnya buku ini banyak penggemarnya. Kalau
semua orang baca buku ini, termasuk pejabat-pejabat negeri kita yang doyan
korupsi, harusnya mereka merasa malu sama Nenek Osano. Dan memang iya, semakin
banyak harta kita, semakin panjang juga nanti daftar perhitungan kepemilikan
kita selama di dunia di akhirat nanti, kan? Tapi bedakan antara hidup hemat dengan medit
alias pelit, lho! Hemat tidak sama dengan pelit! Hemat itu bisa menjadikan
seseorang kreatif. Seperti Nenek Osano.
Jadi, nyambung juga, ya, teguran Papa dengan buku ini. Atau Papa negur
Bunda karena sudah baca buku ini? :D
So... Ada banyak hal yang bisa kita pelajari tentang hidup di buku ini,
dengan mudah dan ringan. Nggak merasa digurui, tapi merasa ditempelengi iya. Buat
yang ngerasa, sih... :D
Soal fisik buku... Meski font-nya font standar, nggak masalah, sih. Terima
kasih buat ibu Indah S. Pratidina dan tim editor Khansa yang sudah membuat buku
ini menjadi enak dibaca dalam Bahasa Indonesia. Buat Bunda yang waktu
membacanya sangat terbatas, Bunda bisa menyelesaikannya dalam waktu dua hari. Ingat.
Waktu membaca Bunda yang sangat terbatas. Hehe...
Oke, lima bintang untuk buku ini. Selamat tertawa dan menangis pada
waktu yang bersamaan dengan buku ini, ya! Kalo pakai perasaan, sih, bacanya...
:D
Kalo review Bunda di Goodreads, sih, gini...
Kalo review Bunda di Goodreads, sih, gini...
Serasa diingatkan untuk membaca buku ini #lirikrakbuku
BalasHapus