5 Jun 2012

Biar Miskin yang Penting Senang!






Judul buku: Saga no Gabai Bāchan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis: Yoshichi Shimada
Koordinator Penerjemah: Mikihiro Moriyama
Penerjemah: Indah S. Pratidina
Penyunting: Tim Khansa
Pewajah Sampul: Iksaka Banu
Pewajah Isi: Husni Kamal
Diterbitkan oleh: Mahda Books
Jumlah halaman: 264 halaman
Cetakan I: April 2012
Cetakan II: Mei 2012
ISBN: 978-602-97196-2-8
5 dari 5 bintang
Children Books

Akihiro yang kehilangan ayahnya setelah Hiroshima dibom, terpaksa berpisah dari ibu untuk tinggal bersama neneknya di Saga. Meski[pun keluarganya hidup prihatin, namun kehidupan di Saga satu peringkat lebih miskin. Tetapi sang nenek selalu punya ratusan akal untuk meneruskan kehidupan dan membesarkan cucunya.

Dengan ide-ide cemerlang sang nenek, kehidupan selalu mereka jalani penuh tawa. Sulit memang, tapi menarik dan mengasyikkan. Namun waktu terus berjalan dan tibalah hari ketika Akihiro harus mengambil keputusan. Dia harus memilih antara nenek dan Saga yang dia cintai atau mengejar mimpi-mimpinya.

Diterjemahkan langsung dari Bahasa Jepang oleh Indah S. Pratidina, buku ini membuat kita tersenyum, terenyuh, dan mungkin berpikir ulang tentang nilai-nilai kesederhanaan.


Dalam waktu kurang dari satu tahun, buku ini telah terjual 100.000 eksemplar di negeri asalnya. Kisah Nenek Hebat dari Saga begitu terkenal sehingga diadaptasi dalam bentuk film, layar lebar, game maupun manga.  (dari cover belakang)

“Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan sendiri oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.” – akhir dari bagian prolog.

“Hanya dengan berkata, ‘kita turun temurun miskin’ sambil membusungkan dada, Nenek sudah menunjukkan bahwa dia mengusung cara hidup miskin garis keras.” – halaman 67.

“Hidup itu gabungan berbagai kekuatan.” – halaman 171.


Halo, Kakak Ilman dan Adik Zidan...
Apa, sih, tolak ukur kebahagiaan seseorang? Rumah mewah? Mobil mewah? Rutin memanjakan diri ke salon dan spa? Makan enak di restoran mewah? Liburan sebulan sekali keliling dunia? Lalu, kalo semua itu nggak tercapai sekali saja, kita akan merasa nelangsa? Merasa melarat?

Seperti yang diceritakan di cover belakang di atas, Akihiro yang sudah miskin akibat bom Hiroshima dan juga kepergian sang ayah untuk selamanya, semakin miskin lagi satu peringkat di bawah kemiskinan yang dijalaninya, ketika mulai tinggal dengan sang nenek. Penyambutan sang nenek sewaktu Akihiro kecil sampai di gubuknya, bukanlah pelukan atau hiburan, tapi bagaimana cara menanak nasi. Karena mulai keesokan harinya, dialah yang akan menanak nasi. Sebab Nenek harus berangkat bahkan sebelum subuh untuk bekerja sebagai tukang bersih-bersih.

Ide Nenek Osano tentang “supermarket” di sungai depan rumahnya cukup unik dan hebat. Sederhana padahal. Nenek hanya memasang galah yang dapat menjaring sampah yang melewati sungai. Di antara sampah-sampah itu, ada “sampah” yang masih bisa digunakan. Misalnya, sayuran yang sebetulnya masih segar, tapi karena bentuknya tidak sempurna, maka dibuang ke sungai. Nenek Osano bilang, sayuran yang lewat sungai itu dicuci oleh air sungai, jadi sudah bersih. Timun yang bengkok, kalo sudah diiris-iris tetap saja namanya sama: timun.

Well, sungai di Saga tempat Nenek Osano tinggal yang Bunda bayangkan, tidak sama dengan sungai Citarum di Bandung atau Sungai Ciliwung di Jakarta yang penuh dengan timbal, ya. Membayangkan kita memulung sayuran dari sungai-sungai hari gini langsung membuat Bunda merasa mual. Mungkin saja, sungai Citarum atau Ciliwung di tahun 50-an – ketika setting cerita ini berlangsung – sama bersihnya dengan sungai tempat supermarket Nenek Osano berada.

Semua anak, Bunda rasa sama. Pengen punya sesuatu yang dibanggakan. Sama juga dengan Akihiro kecil. Ketika dia mengagumi orang yang bermain kendo dan ingin juga menjadi seorang atlet kendo. Dia minta izin sama neneknya, untuk ikut latihan kendo. Awalnya, Nenek mengizinkannya. Tapi begitu tahu, bahwa harus membayar, Nenek kemudian bilang, “lupakan saja.”

Nah, sewaktu Akihiro ingin sekali berlatih judo dan Nenek bilang, “lupakan”, dia berusaha merayu sang nenek bahwa dia butuh olahraga. Nenek kemudian bilang bahwa beliau punya usul, “bagaimana kalo lari saja?” Sejenak, Bunda tertawa terbahak. Usulnya lucu sekaligus miris. Kalo memang hanya mau olahraga, kan, bisa tuh, lari? Gratis, nggak usah bayar. Bener juga, ya.. hihi...

Karena memang Akihiro bersungguh-sungguh mau berolahraga, maka berlari pun ditekuninya. Sehingga, setiap ada festival olahraga di sekolahnya, Akihiro selalu memenangkan lomba atletik.

Banyak cerita-cerita lain yang menyentuh hati. Sebut saja cerita tentang tukang tahu, tukaran bekal makan siang di hari festival olahraga atau juga kisah acar kulit semangka. Kalo Bunda ceritakan, sih, nanti jadi spoiler. Biarlah kalian baca sendiri, bagaimana menyentuhnya buku ini.

Intinya satu: bagaimana kita menghadapi hidup kita. Mau dengan ceria atau terus menerus mengeluh merasa kurang? Nenek Osano memilih hidup miskin yang ceria. Sudahlah hidup susah, masa harus makin susah dengan banyak mengeluh?

Jadi ingat. Pernah Bunda ada undangan ngumpul sama teman-teman Bunda, di kafe yang cukup mahal harga makanan dan minumannya. Memang, sih, semahal-mahalnya tarif di sana nggak semahal restoran berkelas yang per hidangan bisa sampai sejuta dua juta. Tapi tetep aja, dibanding warung ramen atau bakso malang langganan Bunda, masih jauh harganya. Hahaha. Nah, waktu itu, Bunda sama Papa memang lagi bokek. Tapi kepaksa ke sana, karena ada keperluan sama teman-teman Bunda. Bunda sama Papa nggak makan, karena memang udah makan di rumah. Tapi, alamak! Buat minum aja, udah hampir dua ratus ribu...

Nah, waktu menyadari penampakan wajah Papa yang nggak suka dengan keadaan itu, perasaan Bunda jadi nggak enak banget ke Papa saat ngumpul sama teman-teman Bunda itu. Besok harinya, Papa negur Bunda dengan bilang, “lain kali, kalo tahu tempat ngumpulnya mahal, nggak usah datang aja. Bukan nggak boleh berteman. Papa juga banyak undangan ngumpul di kafe mahal. Tapi ya, Papa mikir, lah. Uang segitu bisa buat ini dan itu yang lebih penting.”

Bulan April lalu, ramai dibicarakan tentang buku ini. Dan ramai-ramai memberi bintang empat sampai lima. Dan ternyata, ketika buku ini akhirnya sampai ke tangan Bunda, memang sudah cetak ulang di bulan Mei. Wow. Buku ini banyak penggemarnya!

Memang wajar dan sudah seharusnya buku ini banyak penggemarnya. Kalau semua orang baca buku ini, termasuk pejabat-pejabat negeri kita yang doyan korupsi, harusnya mereka merasa malu sama Nenek Osano. Dan memang iya, semakin banyak harta kita, semakin panjang juga nanti daftar perhitungan kepemilikan kita selama di dunia di akhirat nanti, kan?  Tapi bedakan antara hidup hemat dengan medit alias pelit, lho! Hemat tidak sama dengan pelit! Hemat itu bisa menjadikan seseorang kreatif. Seperti Nenek Osano.

Jadi, nyambung juga, ya, teguran Papa dengan buku ini. Atau Papa negur Bunda karena sudah baca buku ini? :D

So... Ada banyak hal yang bisa kita pelajari tentang hidup di buku ini, dengan mudah dan ringan. Nggak merasa digurui, tapi merasa ditempelengi iya. Buat yang ngerasa, sih... :D

Soal fisik buku... Meski font-nya font standar, nggak masalah, sih. Terima kasih buat ibu Indah S. Pratidina dan tim editor Khansa yang sudah membuat buku ini menjadi enak dibaca dalam Bahasa Indonesia. Buat Bunda yang waktu membacanya sangat terbatas, Bunda bisa menyelesaikannya dalam waktu dua hari. Ingat. Waktu membaca Bunda yang sangat terbatas. Hehe...

Oke, lima bintang untuk buku ini. Selamat tertawa dan menangis pada waktu yang bersamaan dengan buku ini, ya! Kalo pakai perasaan, sih, bacanya... :D

Kalo review Bunda di Goodreads, sih, gini...

1 komentar:

tirimikisih udah ninggalin komen di sini... *\(^0^)/*